Kesadaran Masyarakat sebagai Manifestasi Kesalehan Sosial

By: Tabrani. ZA


Secara ideal, eksistensi manusia di muka bumi ini bukan hanya dapat mengejar kesalehan individual, melainkan juga harus mampu menggapai kesalehan sosial. Salah satu wujud kesalehan sosial itu adalah kedermawanan yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan budaya. Dalam ajaran Islam misalnya, banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai keharusan membantu atau berbagi pada orang lain (distributive justice). Dalam Surah Al-Maidah (5) 2 disebutkan bahwa orang harus tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan (ta’awanu ‘alal birri wat taqwa). Nabi bersabda “seluruh mahluk ini adalah hamba Allah, sedangkan yang tercinta di sisi-Nya ialah mereka yang paling memberikan manfaat kepada sesama hamba-Nya.” 
Sebaliknya, sikap manusia yang tidak menunjukkan kesalehan sosial adalah sikap anti sosial. Sikap anti sosial seperti yang dilukiskan Thomas Hobbes adalah sikap manusia yang hanya memuaskan kepentingannya sendiri atau sikap manusia yang memaksimalisasi pemenuhan keinginan-keinginan untuk kesejahteraan individualnya. Manusia dalam pandangan Hobbes adalah sebagai mesin anti sosial. Tentu saja sikap anti sosial seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya. 
Ethnic philanthropy atau cultural philanthropy adalah potensi kedermawanan yang berbasiskan nilai-nilai budaya atau tradisi etnik tertentu. Dalam konteks tradisi budaya daerah di Indonesia, ada beberapa contoh yang bisa dikemukakan di sini. Warga Minang misalnya, mengenal tradisi julo-julo. Di Kalimantan, ada tradisi “kamar kapala” dan “adat persaudaraan”. Masyarakat Jawa masih melakukan tradisi jimpitan atau sinoman, masyarakat tatar Sunda juga memiliki budaya serupa yang disebut beas perelek. 
Namun, sayangnya tradisi budaya yang dulu dipegang teguh para pendahulu kita, kini telah punah. Padahal tradisi budaya semacam itu semestinya dapat dipertahankan, bahkan diperluas aspek gerakan sosialnya (social movement) dan ditingkatkan segi pengelolaannya (management) serta diwariskan/ditularkan (transmitted) kepada generasi muda sekarang.
Untuk merevitalisasi semangat ethnic philanthropy yang kini sudah mulai memudar, agar dapat tumbuh kembali, beberapa hal yang harus dilakukan adalah: pertama, perlu dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah Jawa Barat, terutama dalam memfasilitasi gerakan yang bernuansa ethnic philanthropy tersebut. Kedua, memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya gerakan yang bernuansa ethnic philanthropy. Ethnic philanthropy adalah sebagai wahana pemberian bantuan kemanusiaan yang harus dijaga kontinuitasnya, atau merupakan “ladang amal” (meminjam istilah Aa Gym) bagi kita. Ketiga, menjadikan sili asah, sili asih, dan sili asuh bukan hanya sekadar semboyan belaka, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, penguatan atau penegakan institusi lokal (locality institutional enforcement), khususnya pada tingkat desa/kelurahan, agar betul-betul menjadi tiang-tiang pengikat bagi segenap warga masyarakat.
Semangat ethnic philanthropy semakin penting ditumbuhkan kembali, berkaitan dengan beban yang harus ditanggung masyarakat demikian berat. Masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa Barat dewasa ini semakin kompleks. Kemiskinan, busung lapar, kurang gizi (malnutrisi), mahalnya biaya sekolah, anak putus sekolah, anak terlantar, penyakit folio, tingginya angka kematian bayi, wabah diare akibat lingkungan pemukiman yang buruk, dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang atau kebutuhan pokok adalah sederetan masalah yang menerpa masyarakat kita.
Dalam menanggulangi beban penderitaan yang dihadapi masyarakat tersebut, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : pertama, mematikan egoisme. Matinya egoisme berarti bangkitnya solidaritas. Solidaritas yang tulus tanpa tekanan. Solidaritas yang sudah tumbuh senantiasa dipelihara agar kian mengakar dalam hati masyarakat kita. Kedua, mematikan keserakahan. Keserakahan adalah keinginan diri untuk memiliki sesuatu melebihi kapasitas yang seharusnya. Kita harus mematikan keserakahan itu. Kematian keserakahan berarti bangkit dan tumbuhnya kesadaran untuk berbagi. Saya tidak mau memiliki sendiri, saya ingin membaginya pada orang lain. Ketiga, mematikan arogansi. Ketika mempunyai kekuasaan, orang cenderung menjadi arogan. Tidak hanya mereka yang memiliki kekuasaan, tapi juga mereka yang mempunyai banyak uang. Dengan uang yang dimiliki, mereka bisa berbuat apa saja. Mereka bisa menggunakan kekuasaan dan uang untuk menindas orang lain. Bahkan tidak jarang, kekuasaan dan uang digunakan untuk membinasakan orang lain. Arogansi sudah saatnya mati. Kini pelayanan kemanusiaan yang harus segera dikembangkan.
Sikap mementingkan diri sendiri, arogansi, dan keserakahan sudah saatnya ditinggalkan. Sebaliknya, rasa kasih sayang sesama, kedamaian, kelembutan, kemurahan hati, saling membantu, kepedulian sosial, solidaritas sosial, kesetiakawanan sosial, dan kedermawanan perlu dihidupkan.{Ђ}