Bangkit dari Kegelapan, Ilusi Pendidikan Bagi Pelaku Kejahatan

Pendidikan itu apa, bagaimana dan mengapa ada serta perlu? Saat kejahatan luar biasa seperti pemerkosaan dan pembunuhan sanggup dilakukan oleh makhluk yang menyebut dirinya manusia, pendidikan menjadi seperti ilusi. Manusia sebagai pelaku seperti hanya mengenal bahasa kekerasan, bukan cinta. Guru ibarat ilusionis yang punya trik-trik untuk buat kagum penontonnya, walau trik itu sebenarnya bisa dipelajari semua orang dengan latihan. Lalu murid, apakah seperti benda mati yang menjadi bagian dari ‘permainan’ sang guru? Saat menjadi murid, saat menjadi guru, pemikiran saya masih idealis bahwa pendidikan ada memang untuk kebaikan seorang manusia. Pendidikan memberi aturan bagaimana selayaknya seseorang harus berperilaku, hidup dengan rutinitas dan harmonis dengan sesama manusia. Namun, setelah melihat dan mendengar adanya kasus pemerkosaan dan pembunuhan dilakukan para pelajar, rasanya makna pendidikan itu semakin kabur. Ilusi.

Apakah yang tertinggal dalam benak seseorang saat melakukan perbuatan jahat pada orang lain? Penyesalan? Rasa puas? Barangkali perbedaan rasa itu yang menjadikan seseorang itu jahat atau baik: sesal bagi orang baik dan puas bagi orang jahat. Maka saat dalam pemberitaan disebutkan para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan anak-anak perempuan dibawah umur hanya mengatakan penyesalan tanpa disertai dengan perilaku menyesal, sebagai seorang ibu merasa geram dan marah. Lalu beberapa minggu kemudian, muncul pernyataan dari KPAI bahwa para pelaku yang dianggap dibawah umur, berhak memiliki masa depan. Maka mereka patut diberi pendidikan layak.

Pertanyaannya kemudian: setelah diberi pendidikan yang ‘dianggap’ layak maka kemanakah mereka diberi ruang hidup? Jika para pelaku dikembalikan ke tempat asal mereka, maka semakin jelaslah ilusi pendidikan itu. Sebab pendidikan bukan sekedar memberi tahu mereka apa yang seharusnya dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Sebuah ruang hidup menjadi guru terbaik bagi mereka. Lingkungan sekitar di Rejang Lebong, Kecamatan PUT, Bengkulu dikenal sebagai wilayah rawan kriminalitas. Maka pendidikan saja lantas mengembalikan mereka pada ruang hidup penuh kejahatan, sama saja seperti membuang mereka ke kubangan lumpur, berbicara dengan bahasa yang ada di sana, bahasa kekerasan. Bukan cinta.

Lantas, apa beda pendidikan berkualitas dan tidak? Sejauh pengalaman saya pada masa lalu di bidang pendidikan, sekolah berkualitas mengajarkan respect atas dasar cinta sesama manusia, pada Tuhan, pada segala hal yang ada di bumi ini. Hal yang tak diperoleh di sekolah abal-abal. Baiknya perilaku seseorang adalah bagaimana ia menaruh respect pada orang lain sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Saat pelaku sanggup melakukan tindakan kriminal seperti itu, dimanakah respect-nya? Awalnya, diduga ada pembiaran berlarut-larut pada tindakan bullying, seolah-olah manusia lain, terutama perempuan, pantas diolok-olok, direndah-rendahkan, dihina-hinakan.

Pola pikir bahwa orang jahat bisa menjadi baik sangatlah naif. Maka, peristiwa di Lapas Banceuy, adanya dugaan penganiayaan pada para narapidana bukanlah hal aneh. Kalaupun dugaan itu benar, sepertinya para sipir hanya berkomunikasi dengan bahasa para pelaku kejahatan, bahasa kekerasan. Kita harus bisa memposisikan diri sebagaimana orang yang tumbuh, kembang, sosialisasi didalam lingkungan yang buruk. Bentukannya tentu beda dengan orang yang tumbuh besar dalam lingkungan kondusif, aman nyaman dan sejahtera bahagia. Namun, bagaimanapun jahat perangai para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan itu, bolehlah kita berharap hal positif. Mari berdoa saja, di tempat rehabilitasi nanti, para pelaku bertemu dengan guru-guru luar biasa bak ilusionis yang bukan saja memukau penonton, berhasil mengubah masa depan buruk bagi mereka menjadi lebih terang benderang. Tapi juga beri perubahan mendasar pada lingkungan hidupnya kelak. (ratih karnelia)

Sumber: http://suaraperempuan.or.id/suara-maki/29-bangkit-dari-kegelapan,-ilusi-pendidikan-bagi-pelaku-kejahatan.html

Materialism in Worship

Sebagian besar umat beragama saat ini merasa memiliki keshalehan hanya dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Sebagai contoh, dalam bulan ramadhan. Kegiatan ibadah intensitasnya jauh di atas bulan-bulan yang lain. Umat banyak mengutip ayat dan hadis yang menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan ganjaran pahala yang diterima seorang hamba dari peribadatannya berlipat ganda dari pada bulan-bulan yang lain. Para muballigh menyampaikan ceramah bak seorang matematikus ulung yang mengkalkulasikan pahala jika seseorang berbadah a, b, c, dst. Walhasih, jamaah pun berlomba-lomba beramal ibadah yang banyak, mengisi pundi-pundi celengan masjid yang kemudian namanya akan diumumkan besar-besar lewat mic masjid. Wuhui... nama jadi besar, pahala juga banyak. Padahal di belakang, depan, dan samping rumahnya banyak orang yang tak bisa beribadah dengan khusyu' karena diperas otak dan tubuhnya oleh persoalan ekonomi.

Ada apa dengan pemahan beragama kita? Materialisme barat masuk menggorogoti aliran darah dan spiritualitas kita, bangsa timur yang kaya dengan filosofi hidup yang tinggi. Ketika Islam memasuki budaya bugis, keduanya saling mengisi dan mendukung. Tidak ada yang kontra. Pandangan kosmologis manusia bugis yang sarat dengan penghormatan dan penghambaan terhadap Yang Maha Kuasa (dewata) yang tidak pernah lepas dari segala ritual budaya dan memperlakukan dengan santun bumi yang menjadi rumah manusia, menciptakan relasi trianggel Tuhan, manusia, dan alam yang padu. Sama persis dengan nilai-nilai Islam yg diproklamerkan Muhammad,SAW.

Jangan lagi ada menghitung-menghitung pahala, karena kalkulator manusia tidak akan pernah cukup untuk menghitung kasih sayang Tuhan pada kita, meskipun langit 7 tingkat sebagai kertas, air dari seluruh samudera alam sebagai tinta, pepohonan sebagai pena, maka tak akan pernah cukup untuk mengkalkulasi Rahimnya Tuhan.  Bukannya saya menolak konsep surga neraka, tapi biarkanlah itu menjadi keputusan Allah kepada umatNya.

Dikutip dari: http://sungkilang.blogspot.co.id/

Tugas Rezim Baru

Yudhistira A.N.M. Massardi,

Pegiat Pendidikan



Banyak yang berilusi, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa pada 2045, tepat 100 tahun setelah Indonesia merdeka, negara kita akan berjaya: ekonomi kuat, berkeadilan, demokrasi semakin matang, peradaban semakin maju, dan status global player akan didapat.



Dengan asumsi bahwa pada 2025 Indonesia pasti menjadi negara mandiri dan makmur dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 15 ribu (sekarang US$ 4.000), Indonesia akan masuk posisi 12 besar dunia dari segi kekuatan ekonomi. Kemudian, pada 2045, Indonesia menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita US$ 47 ribu! Semua ilusi itu dibangun bagaikan mimpi di siang bolong, sebagai hal yang niscaya terjadi. Rentang waktu 31 tahun ke depan seolah-olah hanya berlangsung satu malam, sementara bangsa-bangsa lain mabuk dan tak mampu berbuat apa-apa.



Ilusi tersebut juga dibangun dengan asumsi bahwa pada 2045, kita mendapat "bonus demografis", yakni ketika 70 persen penduduk Indonesia berada pada usia produktif (25-45 tahun). Adapun populasi bangsa-bangsa lain menciut (jumlah warga Jepang berkurang 20 juta jiwa) dan menua (warga Korea Selatan dan Singapura rata-rata memasuki usia 50 tahun-an). Padahal, pada saat itu, populasi Indonesia mencapai 317.279.000 jiwa, dengan 85 persen warga (sekitar 270 juta jiwa) akan memadati kota-kota besar, meningkat lebih dari dua kali lipat jumlah sekarang (128 juta jiwa atau 50 persen). Populasi pedesaan pun menciut.



Ilusi kejayaan itu mengabaikan fakta-fakta lain yang akan menyertainya. Jika korupsi dibiarkan merajalela seperti sekarang dan kepastian hukum tak ada, para investor asing tidak akan mau menanamkan modalnya di sini, dan itu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, piramida demografi tadi, jika tidak dikelola dan dipersiapkan dengan baik, tidak akan menjadi bonus, bahkan menjadi bencana nasional. 



Kunci utama untuk mengubah ilusi itu agar tidak berhenti sebagai mimpi di siang bolong adalah pendidikan. Harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan, yang dimulai dengan perubahan undang-undang. Paradigma dan orientasi pendidikan tidak lagi bertolak dari Prussianisme yang otoriter dan bertujuan menghasilkan tenaga kerja yang patuh tanpa inisiatif. Semua harus didasari fondasi berupa pembangunan manusia seutuhnya, dengan fokus pada pendidikan anak usia dini dan berbasis pembangunan inteligensia (bukan lagi kognisi/akademik), untuk melahirkan generasi baru yang lebih cerdas, berakhlak mulia, mandiri, dan cinta belajar sepanjang hayat. 



Karena itu, kata kuncinya adalah peningkatan kualitas dan kemampuan guru dalam mengajar, dengan metode yang lebih memuliakan manusia sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna dan terbekali dengan aneka bakat dan potensi.



Jika anak-anak usia dini sekarang dibangun dengan cara yang baik dan benar, kita akan memiliki fondasi bangsa yang kuat dan memiliki aneka kemampuan, sehingga mereka, pada saat mencapai usia produktifnya, akan menjadi generasi pemimpin, kreator, inovator, dan operator yang siap menghadapi segala tantangan dan kesempatan menuju kejayaan pada 2045. Artinya, kita harus segera bekerja, mulai hari ini, bukannya tidur siang sambil berharap terbangun pada 2045 dan seketika berjaya!



Itulah tugas yang harus diemban dan dikerjakan oleh rezim baru yang nanti akan berkuasa setelah seluruh proses politik pada 2014 usai.

Sumber: https://www.tempo.co/read/kolom/2013/12/30/1009/Tugas-Rezim-Baru

4 Pilar Tentang Pendidikan Sepanjang Hayat

By. Tabrani. ZA

Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang di dalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas, terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama. Di sinilah peran lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang telah disampaikan di atas, melalui pendidikan sepanjang hayat manusia diharapkan mampu menjadi manusia yang terdidik.
Pendidikan  sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya adalah harus ada : motivasi, perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi, generalisasi, menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah satunya dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir, berbuat positif dari, oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan.
Dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Dengan melakukan empat pilar yang telah dikeluarkan oleh UNESCO, untuk itu semua pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia. Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be” belajar untuk menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Ini dimaksudkan agar seorang siswa mampu mewujudkan dan mengembangkan bakatnya sesuai dengan harapannya. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik.
Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman tenteram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri.

Constructive Ideas for Teaching Addition Skills

The purpose of this article is to put forward some ideas to help with the teaching of addition.
Combining groups of physical objects: for many students, this is their most basic experience of adding up. This process normally involves collecting two sets of objects, then counting how many objects there are in total. (For example, by building two towers of cubes, and then counting up every single block.) For many, this method can be too involved, particularly for those students who present attention deficit disorder. If the child cannot hold their attention for the whole of the activity, blocks will be put awry, towers will end up with additional blocks, blocks will get mixed up, and at the end, the wrong answer is arrived at. The length of the process means that if your child does not master the concept quickly, they are not likely to make progress at all. In addition, it is difficult to extend this process into a calculation that can be approached mentally: for example, try to imagine two large sets of objects in your head, and then count them all up. Even for adults, this is nearly impossible.
Simple drawings: jottings are a more useful alternative to the process described above. Write out the addition problem on a sheet of paper, and next to the first number, jot down the appropriate number of tallies (for instance, for the number 4, draw 4 tallies). Ask your student to predict how many tallies you will need to draw by the other number in the problem. When they come to the correct answer, ask them to draw the tallies. To finish with, ask how many tallies they have drawn altogether. This method is a much easier way of bringing together 2 groups, is less likely to be subject to mechanical error, and is better suited to students with poor focus. It also encourages the child to associate between what the written sum actually says, and why they are drawing a certain number of tallies.
Counting on: this is a technique based around your student’s capacity to say number names. When your child has reached a stage where they know how to count to five, start asking them questions like, “what number is 1 more than…” (eg. what comes after 2 when we count?) This is actually equivalent to answering an addition problem of the type 2+1, but helps to connect the ideas of counting and addition, which is very powerful. This technique gets your student ready to use number squares and gives them the confidence to answer problems in their mind. The method can also be made more difficult, by asking, “what number is 2 more than…” When your child can confidently respond to such problems out loud, show them the question written down, and explain that this is the same as the problem you had been doing before. This will help the child to see addition and counting as fundamentally related, and that this new problem is actually something they have met before.
Playing board games: this activity can be both a mathematical learning experience as well as a pleasant pastime. Games that require a counter to be moved around a board do a lot to encourage children to count on. If the board has numbers on it, the child is able to see that the action is similar to counting out numbers aloud, or using a number line. Make a point of remembering to draw attention to the relationship between using board games and addition.
Learning number facts: usually, we rely on number facts learnt by heart to help us answer addition problems. In a nutshell, we do not have to figure out the answer to 7 and 10, we simply remember it. Having the ability to recall addition facts allows us to tackle simple maths tasks confidently. Improve your student’s knowledge of known number bonds by singing nursery songs that tell stories of number. Take part in the game of matching pairs with the student, where the point of the game is identify the location of the question (for instance, 7+8) and the corresponding answer from a set of cards all turned face down. Create a set of flashcards with simple addition facts written on them, look at the cards one at a time, and ask the student for the answer, giving a good deal of applause when they give the right answer. When they are confident, expand the number of facts. Games will prevent your child perceiving addition as dull, and will build confidence.
Addition printables and worksheets: Practise makes perfect – and the right style of practice also lends more confidence. By utilizing simple worksheets, aimed towards your student’s ability and attention span, you are able to significantly improve your child’s ability with addition, both orally and written down. There are plenty of free internet sites that offer worksheets that help with the teaching of adding up, but it does matter what adding up worksheets you use. Ensure that the worksheets are aimed at the right level, being neither too difficult nor too easy, and are of the correct length to maintain the student’s interest. You should be attempting to present questions that foster their recollection of number facts, along with a scattering of sums involving some calculation. On the occasions that the student is successful, use the opportunity to give them a lot of praise; when they make a mistake, do not appear frustrated, but briefly explain their mistake. Using adding up worksheets in a considered way can really boost your student’s ability.