Materialism in Worship

Sebagian besar umat beragama saat ini merasa memiliki keshalehan hanya dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Sebagai contoh, dalam bulan ramadhan. Kegiatan ibadah intensitasnya jauh di atas bulan-bulan yang lain. Umat banyak mengutip ayat dan hadis yang menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan ganjaran pahala yang diterima seorang hamba dari peribadatannya berlipat ganda dari pada bulan-bulan yang lain. Para muballigh menyampaikan ceramah bak seorang matematikus ulung yang mengkalkulasikan pahala jika seseorang berbadah a, b, c, dst. Walhasih, jamaah pun berlomba-lomba beramal ibadah yang banyak, mengisi pundi-pundi celengan masjid yang kemudian namanya akan diumumkan besar-besar lewat mic masjid. Wuhui... nama jadi besar, pahala juga banyak. Padahal di belakang, depan, dan samping rumahnya banyak orang yang tak bisa beribadah dengan khusyu' karena diperas otak dan tubuhnya oleh persoalan ekonomi.

Ada apa dengan pemahan beragama kita? Materialisme barat masuk menggorogoti aliran darah dan spiritualitas kita, bangsa timur yang kaya dengan filosofi hidup yang tinggi. Ketika Islam memasuki budaya bugis, keduanya saling mengisi dan mendukung. Tidak ada yang kontra. Pandangan kosmologis manusia bugis yang sarat dengan penghormatan dan penghambaan terhadap Yang Maha Kuasa (dewata) yang tidak pernah lepas dari segala ritual budaya dan memperlakukan dengan santun bumi yang menjadi rumah manusia, menciptakan relasi trianggel Tuhan, manusia, dan alam yang padu. Sama persis dengan nilai-nilai Islam yg diproklamerkan Muhammad,SAW.

Jangan lagi ada menghitung-menghitung pahala, karena kalkulator manusia tidak akan pernah cukup untuk menghitung kasih sayang Tuhan pada kita, meskipun langit 7 tingkat sebagai kertas, air dari seluruh samudera alam sebagai tinta, pepohonan sebagai pena, maka tak akan pernah cukup untuk mengkalkulasi Rahimnya Tuhan.  Bukannya saya menolak konsep surga neraka, tapi biarkanlah itu menjadi keputusan Allah kepada umatNya.

Dikutip dari: http://sungkilang.blogspot.co.id/