Pidato Megawati Soekarnoputri pada peringatan ulang tahun
ke-44 PDIP menuai kontroversi. Dengan mengutip pernyataan ayahnya, Mega
mengatakan, "Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam,
jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah
jadi orang Indonesia dengan adat budaya nusantara yang kaya raya ini."
Meski dalam pernyataan itu Mega menyinggung agama-agama
selain Islam, secara garis besar pidato Megawati cenderung mengarah kepada
Islam dan kelompok-kelompok Islam. Ini bisa dilihat dari kritiknya terhadap
"ideologi tertutup" atas dasar agama, yang dianggapnya tidak sesuai
dengan bangsa Indonesia karena tidak toleran dan demokratis.
Pernyataan-pernyataan tentang "Islam beda
dengan Arab" atau "Indonesia beda dengan Arab" mulai hits sejak
beberapa tahun terakhir ini. Bukan hanya dinyatakan tokoh-tokoh awam agama
seperti Megawati, beberapa agamawan juga sering mengungkapkan hal serupa. Said
Aqil Siradj dalam beberapa wawancara dengan media juga menyatakan hal itu. Dan
pernyataan "Islam bukan Arab" itu sering kali diiringi dengan
ungkapan negatif terhadap bangsa Arab sebagai kurang beradab karena suka
berkonflik.
Dalam hal tertentu, mungkin benar Arab tidak lebih baik
dari nusantara. Tetapi, pengungkapan pernyataan seperti itu tanpa disertai
penjelasan yang cukup, bisa menjerumuskan masyarakat pada sikap kebencian
terhadap bangsa tertentu (rasisme).
Identitas nusantara
Mempertentangkan budaya Arab versus nusantara
sesungguhnya sebuah kenaifan yang berbasis pada kebutaan sejarah. Dalam
banyak hal, budaya Arab sesungguhnya memiliki peran penting dalam pembentukan
identitas kenusantaraan selain pengaruh India. Hal ini wajar belaka mengingat
sejak berabad-abad lalu wilayah nusantara merupakan area perdagangan
internasional, dan mencapai puncaknya pada abad ke-16 dengan apa yang disebut
oleh Anthony Reid (2015) sebagai "ledakan pasar yang terus-menerus".
Dalam kondisi seperti inilah Islam datang dan diterima
dengan baik oleh masyarakat nusantara. Kehadiran Islam tidak sekadar mengubah
keyakinan masyarakat setempat, tetapi juga mengubah sistem sosial, bahasa,
budaya, dan politik di nusantara.
Reid memberikan contoh, sebelum kedatangan Islam, para
istri di Jawa dan Bali diharuskan membakar diri mereka dalam api pembakaran
jenazah suaminya. Namun, tradisi seperti itu hilang dengan kedatangan Islam.
Sebagai konsekuensi dari proses konversi ke Islam, masyarakat juga diharuskan
berkhitan dan meninggalkan kebiasaan makan daging babi. Ini merupakan proses
yang sulit, mengingat babi merupakan sumber daging utama dan unsur utama dalam
ritual upacara-upacara sebelum Islam. Begitu kuatnya perubahan itu
sehingga dua hal ini menjadi identitas utama keberislaman
seseorang.
Melihat perubahan yang fundamental itu, tulis Reid,
masyarakat nusantara yang masuk Islam bagaikan telah melakukan perubahan etnis.
Karena itulah, Reid menolak tesis bahwa proses Islamisasi nusantara – terutama
di Jawa –hanya menyentuh aspek kulit luar saja. Menurut dia, Islam tidak hanya menambah
kalimat syahadat, doa, dan upacara-upacara lain sebagai pengganti upacara lama
yang telah berlaku di masyarakat.
Lebih dari itu, Islam telah memberikan perubahan besar
pada masyarakat, mengingat agama ini merupakan agama profetik yang menawarkan
jalan eksklusif ke arah penyelamatan, dan menuntut pemeluknya untuk menampakkan
ciri-ciri eksternal tertentu dalam kehidupannya sebagai umat.
Konversi ke Islam "seolah-olah pindah etnis"
memang benar-benar terjadi karena banyak unsur budaya para pendakwah, yang
diserap dan digunakan oleh masyarakat nusantara menggantikan budaya yang telah
ada, seperti di bidang bahasa dan sastra. Unsur-unsur bahasa Arab diserap
masyarakat seiring dengan Islamisasi yang terjadi.
Azyumardi Azra (2000) menulis, dalam Kamus Al-Hamidi
karya Abdul Hamid Ahmad tercatat sekitar 2.000 kosakata Arab dalam Bahasa
Melayu-Indonesia, dalam Guguskata Arab Melayu Muhammad Said mendaftar sekitar
1.725 kosakata, Kamus Istilah Islamiyah karya Muhammad Sanusi ibn Haji Mahmood
mencatat sekitar 2.000 kosakata.
Sementara itu, James Howison mencatat hanya sekitar 150
kosakata, Shellabear mendaftar 385 kata, Swettenham hanya mencatat sekitar 219
kata, Winstedt dan Linggi dalam Kitab Loghat Melayu mendaftar sekitar
1.001 kosakata Arab yang diadopsi dalam Bahasa Melayu-Indonesia. Sedangkan
Denys Lombard (2008) menyebut sekitar 3.000 kosakata Arab yang diserap dalam
perbendaharaan Melayu-Indonesia.
Istilah daulat, sultan, malik, khalifah, baiat, tadbir,
harb, jihad, aman, amar, wathan, majlis, musyawarah, umat, siasat, adil, zalim,
syarikat, amanah, hukum, dan qanun merupakan contoh-contoh adopsi kosakata Arab
dalam perbendaharaan Bahasa Melayu-Indonesia. Pengaruh Arab dalam bidang
bahasa ini bisa kita saksikan dalam penamaan lembaga-lembaga negara, seperti
"Majelis Permusyawaratan Rakyat," dan "Dewan Perwakilan
Rakyat."
Bahkan, beberapa konsep politik Islam-Arab, seperti
"adil", "beradab", "perwakilan",
"musyawarah", "rakyat" menjadi bagian penting dalam dasar
negara Indonesia modern, Pancasila. Seandainya tanpa konsep-konsep Islam yang
berwarna Arab itu, sangat mungkin ayahnya Megawati dan founding fathers
Indonesia lainnya kesulitan merumuskan Pancasila, yang digali dari nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia itu.
Bukan hanya kosakata, melainkan juga aksara Arab turut
diadopsi menggantikan aksara Sansekerta. Denys Lombard mencatat, menjelang
tahun 1880, aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan
beberapa bahasa setempat (seperti bahasa Aceh, Minangkabau, atau Jawa).
Penggunaan aksara Arab dalam bahasa Melayu atau Jawa dan lainnya itu dikenal
sebagai Arab Pegon. Namun, penggunaan aksara Arab-Melayu itu pun mulai luntur
digantikan aksara Latin di era kolonialisme Barat pada dasawarsa pertama abad
ke-20.
Simbol-simbol Islam dan Arab ternyata juga menjadi
identitas rakyat Indonesia, yang diperhadapkan dengan identitas penjajah
kolonial yang Barat itu. Pangeran kerajaan Jawa semacam Diponegoro ternyata
lebih suka menggunakan jubah dan gelar kearab-araban dalam membebaskan
negerinya dari penjajahan Belanda, daripada menggunakan pakaian dan
gelar-gelar Jawa. Hal serupa juga dilakukan pejuang-pejuang lain, seperti tiga
haji dari Tanah Minang.
Maka itu, mencoba mempertentangkan identitas
kenusantaraan dari identitas kearaban merupakan tindakan yang ceroboh, dan pada
titik yang ekstrem dapat terjerumus pada krisis identitas bangsa nusantara.
Diakui atau tidak, Islam dan Arab memiliki konstribusi besar dalam membentuk
identitas kenusantaraan itu.
Di titik inilah kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan
"jangan jadi Arab" di satu sisi dan di saat bersamaan mengajak
"kembali ke budaya sendiri (nusantara)" sesungguhnya merupakan
pernyataan yang kontradiktif, dan justru mempertontonkan kebutaan sejarah si
pembuat pernyataan itu sendiri. Allahu a'lam.
Ini merupakan Tulisan asli dari: Ahmad Khoirul Fata (Mahasiswa
S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo).
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/17/01/13/ojpno617-islam-arab-dan-nusantara
Referensi
Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme
dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 3(1),
96-113.
Musradinur & Tabrani.
ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi
Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia).
Proceedings 1st
Annual International Seminar on Education 2015. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani.
ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul
Qur`an (1). Yogyakarta:
Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and
Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and
Modern Learning Theories). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2),
99-112.
Tabrani.
ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern).
Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2011).
Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal
of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani.
ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu
Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama,
10(2), 395-410
Tabrani.
ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di
Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1
Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future
Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy,
18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak
Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International
Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani.
ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam
Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2),
65-84
Tabrani. ZA. (2013).
Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal
Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi
Islam. Banda Aceh: SCAD
Independent
Tabrani. ZA. (2013).
Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama
dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani.
ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner
(Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2),
127-144.
Tabrani.
ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250-270
Tabrani.
ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan
dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah
Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani.
ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi
Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani.
ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru
Metodologi Studi Islam). Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan
Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris
(ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam
Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis
Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130-146.
Tabrani.
ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat
Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International
Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S
& Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded
Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press