Masa Depan Dayah

By. Tabrani. ZA

DAYAH adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriah. Dayah menjadi pusat dari pembahasan mengenai pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dimulai dari pendirian Dayah Cot Kala Langsa, kemudian lembaga dayah menyebar ke berbagai penjuru daerah bahkan sampai ke Nusantara, Malaysia dan Thailand (Saifullah; Serambi Indondesia, 8/2/2013).

Penulis meyakini bahwa pemimpin-pemimpin Aceh masa lalu termasuk Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang juga mengenyam pendidikan dayah sebelum menjadi penguasa, walaupun tidak ada catatan yang lebih rinci mengenai hal ini yang bisa ditemui dalam literatur-literatur sejarah Aceh yang ada. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik. Karena itu, dayah tidak hanya menghasilkan ulama saja, tapi juga politikus maupun negarawan yang berpengaruh.

Secara historis, dayah merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Selain dayah salafiah (dayah tradisional), dalam perkembangannya dayah mencatat kemajuan dengan munculnya dayah-dayah baru dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi, yang sekarang disebut dengan dayah modern atau dayah terpadu.

Eksistensi dayah
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.

Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.

Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.

Landasan kultural yang ditanamkan kuat di dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat diperlukan.

Kalau selama ini dayah telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.

Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.

Selama ini sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan kita saat ini.

Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian dari Dinas Pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk dinas pendidikan. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen atau dinas lain mendapatkan alokasi dana seadanya.

Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab dinas pendidikan. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima Kemenag dan Badan Dayah atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang di bawah kendali Kemenag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Kemendiknas, perbedaannya sangat jauh.

Begitu pun dayah, yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini dayah mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Maka, sudah sepantasnyalah pendidikan dayah disetarakan dengan pendidikan lainnya.

Dayah Masa Depan
Eksistensi dayah di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Dayah yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan.

Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.

Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.

Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan dayah menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seperti yang telah diperankan oleh dayah MUDI Mesra Samalanga, Dayah Manyang PUSKIYAI di Aceh Barat Daya, Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan dayah-dayah lainnya. Dari dayahlah sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Semoga!.{Ђ}

* Tabrani ZA Al-Asyhi, Peneliti pada Study Center for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent), Sekjen GISA, dan Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh. Email: itab_aceh@ymail.com | tabrani_za@ymail.com
Masa Depan Dayah - Serambi Indonesia