Normativitas dan Historisitas: Ketegangan yang Akan Selalu Ada

By. Tabrani. ZA
Secara normatif, Islam itu absolut, sakral dan universal yang kebenarannya trans-historis melewati batas ruang dan zaman, sehingga dalam wilayah ini ia tunggal. Ketunggalan Islam terwakili oleh al-Qur’an - walaupun Islam telah ekspansif dalam area multi-bahasa dan menyejarah dalam multi era - tetapi sumber norma itu tidak pernah mengalami distorsi. Sebagaimana ungkapan Muhammad Iqbal “the prophet of Islam seems to stand between the ancient and the modern world. In so far as the source of his revelation in concerned he belong to the ancient world, in fo far as the spirit of his reveleation is concerned he belongs to the world” (Nabi Muhammad, rupanya berdiri diantara dunia purba dan dunia modern, sejauh mengenai sumber masa wahyu, maka dia miliki dunia purba, sejauh dengan spirit dan jiwa wahyunya, maka dia adalah milik dunia modern, kapan saja tidak pernah usang (Iqbal, 1981: 126).
Al-Qur’an merupakan sumber norma yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan vertikal dengan Tuhan maupun hubungan horisontal sesama manusia. Ia memuat nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang diberlakukan kepada semua manusia pada tingkat yang sama. Dalam khazanah pemikiran Islam alQur’an telah melahirkan sederetan teks turunan dengan berbagai versi, sifat, dan pendekatannya yang sedemikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua – bila al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama- yang mengungkapkan dan menjelaskan makna-makna, norma, simbolisasi dan substansi yang terkandung dalam al-Qur’an dengan kecenderungan dan karakteristik, visi, misi dan orientasi, perspektif dan teori yang berbeda-beda (Gusnian, 2003:17). 
Namun ketika Islam normatif ditransformasikan dalam ranah empirik dan historisitas manusia, maka kebenarannya menjadi profan, temporer, terikat ruang waktu, karenanya pada level ini, Islam menjadi dinamis, relatif, dan plural. Hal ini terjadi karena meskipun teks al-Qur’an diyakini seakan-akan sebagai penjelmaan dan kehadiran Tuhan, namun begitu memasuki wilayah sejarah, firman Tuhan tadi terkena batasan – batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia. Pada periode awal pembumian al-Qur’an ketika hegemoni Muhammad SAW yang memiliki hak otoritatif sebagai penafsir tunggal masih ada, maka homogenitas makna terhadap alQur’an masih relatif dapat dipertahankan (Hidayat, 1996:9). Tetapi ketika Islam telah mengalami perkembangan secara geografis dan zaman, wajah Islam menjadi semakin beragam dan heterogen.
Timbulnya perbedaan adalah karena manusia yang imanen hanya berusaha mendekati kebenaran al-Qur’an dengan otoritasnya masing-masing hingga parameter kebenaran pun berbeda-beda. Implikasinya, setiap usaha manusia memahami teks selalu dilakukan dengan sebuah model yang menjadi kaca mata dan juga presuppositional stand point; pandangan yang dipegang sebelumnya; Prapaham-prapaham yang akan berpengaruh besar pada setiap usaha memahami teks al-Qur’an.
Prapaham yang menginternalisasi dalam dirinya ini adalah buah hubungan interaktif dirinya dengan masyarakat, pengalaman dan life-settingnya dan ini membentuk visi dan persepsinya tentang bagaimana dunia ini telah dan seharusnya ditata dan juga mengembangkan kesan dan penilaian-penilaian tertentu atas teks. Al-Qur’an sebagai objek dan manusia sebagai subjek akan selalu berinteraksi ketika pemahaman atasnya itu mau dihasilkan, karenanya akan selalu ada segi subjektivitasnya, maka substansi pemahaman agama pada level ini adalah penafsiran (Hidayat, 1996:53). Oleh karenanya dalam konteks pemahaman terhadap normativitas Islam, selalu muncul polemik yang dibangun oleh adanya siklus tesa-antitesa dan sintesa dan seterusnya yang membuat historisitas pemahaman dan penafsiran terhadap Islam semakin beragam (Haryono, 2005:76).
Bahasa al-Qur’an memang cenderung bersifat simbolik dan cakupan temanya juga bersifat multi-dimensional sehingga memberi kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda yang pada dasarnya merupakan spektrum konvergen karena ditentukan oleh berbagai variabel menurut tingkat pemahaman praksis dan intelektual penafsir. Jadi pesan wahyu terbuka lebar bagi manusia untuk diinterpretasikan sesuai atas kondisi intelektual masyarakat, perkembangan bahasa, budaya dan zaman.
Islam dalam level historis memang tidak akan selalu tunggal, ia tidak akan statis, akan selalu ada paradigma baru yang mengadaptasi dimensi ruang waktu serta lokalitas seiring berjalannya sejarah. Pemahaman keberagamaan dalam historisitas Islam berkembang terus tanpa henti. Perkembangan itu sendiri - menurut Almakin - kompleks karena menyangkut begitu banyak variabel. Hal ini bukanlah hal yang sederhana, karena setiap zaman menghasilkan historisitas, penemuan, wacana dan pemahaman terhadap teks normatif yang berbeda dengan zaman lainnya. Setiap ruang dan waktu menghasilkan wacana, warna, gerakan, pembaharuan tersendiri yang setiap titik tekan mengkritiki pemahaman sebelumnya sambil menelorkan teori baru (Mustaqim, 2002:30). Logika dan pemahaman agama, menurut Amin Abdullah, memerlukan sebuah continuous process untuk menjawab realitas perkembangan sejarah yang berbeda-beda agar nilai-nilai agama dapat mendorong perkembangan proses dan memperkaya konsep pembentukan peradaban manusia. Sekali lagi, heterogenitas pemahaman terhadap Islam terjadi sebagai proses dialektika antara teks yang sakral, konteks, dan rasionalitas manusia yang profan. Posisi diametral antara teks dan konteks itulah - jika dicermati dalam sejarah pemikiran Islam- selalu memunculkan ketegangan kreatif antara gerakan pemahaman normatif di satu sisi, dan gerakan pemahaman historis-liberal di sisi lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat dalam pemahaman teologi, hukum, pemikiran politik serta bidang lainnya.
Dengan istilah yang sedikit berbeda, Amin Abdullah (2004) menyatakan bahwa pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak teologis normatif – tekstual dan kritis-historis tidak selamanya akur dan irama hubungan antara keduanya seringkali diwarnai dengan tension dan ketegangan baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Kelompok normatif-tekstual acap menuduh bahwa pemahaman kelompok konteksrual adalah pemahaman agama yang bersifat reduksionis sedangkan kontekstual mengklaim pendekatan normatif itu mengabsolutkan teks yang tertulis tanpa berusaha memahami latar belakang teks keagamaan yang bersifat kultural psikologis maupun sosiologis. Karena itulah menurut Amin, problema paling serius umat Islam yang sulit ditemukan solusinya adalah bagaimana mengaitkan nilai-nilai normativitas yang fundamental yang absolut dengan historisitas dan konteks kesejarahan kehidupan manusia yang selalu mengalami perubahan peradaban.
Sesungguhnya walaupun seringkali terjadi proses pencampuran yang kental dan pekat antara dimensi historisitas manusia yang dinamis dan normativitas wahyu yang universal dan kompatibel (shalihun li kulli zaman wa makan), namun menurut Amin Abdullah, keduanya bisa dibedakan namun sama sekali tidak bisa dipisahkan. Masing-masing tidak mungkin teralienasi dari yang lain, berkelindan, blended, dan interdependensi. Keduanya otomatis selalu terhubung secara dialektis, tanpa berhenti pada satu sisi saja, keduanya flowing (mengalir) dan fluid (cair berubah) tetapi tidak macet pada satu sisi saja. Jika tidak demikian akad terjadi proses – di samping proses dominasi dan hegemonik yang satu atas yang lain, yang saling menafikan sisi historisitas manusia atau sebaliknya – maka akan meng’abaikan normativitas yang harusnya dihayati para pemeluk agama (Abdullah, 2004). Hal ini secara ontologis, menurut Arkoun, memahami Islam dapat menggunakan analogi koin atau kepingan mata uang logam yang pasti memiliki dua sisi permukaan. Tidak ada dan mungkin ada sebuah koin yang hanya memiliki satu permukaan, demikian juga Islam, tidak mungkin memilih satu di antara dua sisi, normativitas dan historisitas. Normativitas menjadi sebuah keniscayaan untuk menjaga keajegan/ autensitas agar tidak mengalami distorsi ataupun deviasi, sedang historisitas menjaga eksistensi agama agar tetap kompatibel, akseptable dan berfungsi dalam kehidupan manusia.
Pendekatan normatif berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak mungkin mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi kesimpulan yang diambil bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan teologis bahwa kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Dengan demikian realitas harus tunduk dan menjadi sub-ordinasi di bawah otoritas teks – teks agama (Mahmud, 2005:8). Sebaliknya pendekatan kedua, historis, berasumsi bahwa setiap agama selalu lahir dalam konteks yang menyejarah. Karena jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama menjadi absurd dan tak memiliki makna apa-apa. Agar agama memiliki signifikansi, hal ini mensyaratkan adanya proses dialektika dengan realitas empiris masyarakat karena dengan ini agama dipercaya dapat mengubah realitas di luar dirinya dan pada saat yang sama realitas luar itu berpengaruh terhadap agama. Bagi pendekatan ini, praktik agama tidak harus melalui huruf per huruf dari firman Tuhan melainkan cukup menangkap spirit universal agama. Agama bukanlah entitas yang mengatasi sejarah, namun mengandung status spatio temporal yang terbatas ruang dan waktu. Agama bukanlah produk Tuhan seratus persen, namun ada intervensi sejarah, karena wahyu bukan turun di ruang hampa kebudayaan, namun justru berkelindan dengan historisitas manusia.
Jika dianalogikan Islam laksana bola salju (snow ball). Semakin lama semakin banyak pemeluknya, maka wajah keberagamaan semakin plural dan multi wajah, beraneka dan semakin warna-warni baik, secara sinkronik dan diakronik. Dari sini muncul pertanyaan krusial, jika kalau begitu apakah mungkin mempertahankan autensitas Islam. Manakah Islam yang autentik, Arabkah, Indonesiakah, atau bahkan Eropakah? Periode salaf dulu, atau justru sekarang, atau yang manakah?. Ini adalah persoalan paradigma, lebih urgen manakah antara teks/skriptural – legal formal dengan nilai-nilai substansial, manakah diantara keduanya yang lebih autentik? Memang agak problematis-dilematis. Jika autensitas diserahkan pada legal formal teks, maka ia suatu saat mungkin dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua ketentuan legal formal itu kompatibel dengan kondisi umat. Karena itu autensitas harus berhadapan dengan fungsionalitas dan juga progresivitas.
Dalam proses ini sering terjadi ketegangan ketika pengalaman keberagaam mulai berubah muatan dan kompleksitasnya - bukan essensinya – lantaran perkembangan ilmu, teknologi dan lainnya yang semuanya memperluas dan mengambangkan cakrawala pengalaman pemikiran manusia. Pendukung pemikiran normatif sangat khawatir jika pemaknaan kembali tersebut menyimpang dari sejarah intelektual lama yang sudah mapan, diajarkan, didokumentasikankan, dan bahkan dipedomani. Pengusung normativitas kadang lupa bahwa khazanah intelektual lama yang dianggap autentik dan sakral, sejatinya juga merupakan produk dan respon pergumulan intelektual mereka dengan sejarah zamannya. Jika produk pemikiran lama tidak dapat menerima perubahan, maka ini akan membuat wilayah Islam menjadi tertutup (closed world view) lantaran kebenaran pada wilayah metafisik – etik dan normatif kerap kali tidak peduli, tidak berminat, dan tidak mempertimbangkan sama sekali dimensi lain yaitu kesejarahan/historisitas manusia yang empirik. Ia sibuk dengan kebenaran absolut mutlaknya tanpa mau memerinci apa yang disebut absolut mutlak itu, padahal kemutlakan tersebut selalu dibungkus dalam pemikiran manusia yang relatif. Penegasan dan ketidakpedulian ini akan menjadikan agama terkesan berwatak antagonistik dan otoriter yang dikhawatirkan membuat ajaran Islam justru semakin kering dari pemahaman realitas sosial yang arguable-debatable akibat dari dinamika budaya dan sosial. Historisitas memang merupakan refleksi dari normativitas dan sebaliknya normativitas itu dibangun dari pengalaman historisitas. Selalu ada proses dialogis yang tak pernah berhenti antara spirit keduanya secara dinamis sepanjang gerak umat Islam masih ada. Akhirnya, agama yang merupakan refleksi dari titah Tuhan yang transenden memang bersifat absolut, namun dalam proses pembumiannya, ia menjadi relatif karena pengaruh ruang waktu.
Menurut Amin Abdullah (2003:16), peradaban Islam sesungguhnya tidak lain adalah suatu hasil akumulasi perjalanan pergumulan umat Islam ketika berhadapan dengan proses dialektika antara “normativitas” ajaran wahyu yang permanen dan “historisitas” kesejarahan pengalaman manusia di bumi yang selalu berubah secara dinamis. Norma bersifat transenden sedangkan manusia adalah imannen. Relasi tarik menarik terkadang saling afirmasi namun juga terkadang bahkan saling menegasikan, mengetepikan, saling mencoba mendominasi eksistensi yang lain; antara kedua dimensi tersebut selalu ada dalam perjalanan pemikiran Islam sepanjang sejarah. Sejauh mana ideal moral dan wibawa normativitas wahyu yang terbungkus dalam pengalaman empirik manusia di suatu tempat dan masa tertentu dapat ditangkap dan diperlakukan kembali pada dimensi ruang dan waktu yang lain. Disinilah persoalan krusial sering muncul, karena umat dituntut kreatif menggunakan kecerdasannya untuk memetakan secara pas antara normativitas wahyu yang universal dan historisitas manusia yang dinamis agar tidak terjadi dominasi yang mematikan.
Dikatakan lebih lanjut oleh Abdullah (2003), fakta sejarah membuktikan bahwa tidak mudah untuk memetakan domain keduanya. Nyatanya relasi dan dialektika keduanya sering diwarnai ketegangan bahkan “anomaly”. Terkadang historisitas Islam yang bersifat imanen dan profan dipaksa untuk diperlakukan secara absolut dan permanen dan bahkan di sakralkan akibatnya terjadi taqdis al-afkar aldiny (pensakralan pemikiran kegamaan) atau ortodoksi menurut Fazlurrahman yang menyebabkan keajegan dan bahkan kemandegan Islam di wilayah historis, sementara dinamika historisitas menuntut perjalanan, kemajuan, bahkan lari mengahadapi problematika kehidupan manusia. Ironinya menurut M. Arkoun -dikutip Amin Abdullah bahwa telah terjadi proses pelapisan geologi pemikiran Islam sejak abad 12 hingga saat ini, sehingga menepikan aspek historisitas kemanusian yang sesunggunya selalu dalam on going process serta on going formation. Contoh ketika membaca QS ‘Abasa yang menampakan dimensi historisitas dan imanensi Muhammad SAW ketika bermuka masam dengan Abdullah bin Ummi Maktum.
Peristiwa itu menunjukan imanensi atau kemanusiaan Muhammad SAW. Namun dengan kekuatan intetektual dan rasionya manusia dituntut untuk menemukan dimensi normativitas peristiwa tersebut yang bersifat universal, impertif, categorical dan necessary. Kejadian historis dapat berbeda tetapi dimensi normativitas dan etika al-Quran tetaplah sama bahwa QS ‘Abasa tersebut memerintahkan untuk memperlakukan manusia harus adil dan egaliter, demokratis dan santun tidak boleh diskriminatif terhadap stratifikasi dan kasta sosial yang berbeda. Aspek universalitas Islam terletak pada normativitasnya yang bersifat categorical (mengikat semua pihak) sedangkan historisitasnya bersifat particularcultural, terletak pada kejadian empirik yang dihadapi Nabi (Amin Abdullah, 2003: 20).

Referensi
Abdullah, A., & Tabrani ZA. (2018). Orientation of Education in Shaping the Intellectual Intelligence of Children. Advanced Science Letters, 24(11), 8200–8204. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12523
Abdullah, M. Amin. 2004. Falsafah Kalam di Era Postmodernism. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2004. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: SUKA Press.
Abdullah, M. Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkoneksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2014. Paradigma dan Implementasi Pendekatan Integrasi Interkoneksi dalam Kajian Pendidikan Islam. Disampaikan dalam seminar nasional Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 15 Oktober 2014.
Idris, S., & Tabrani ZA. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 3(1), 96–113. https://doi.org/10.22373/je.v3i1.1420
Idris, S., Tabrani ZA, & Sulaiman, F. (2018). Critical Education Paradigm in the Perspective of Islamic Education. Advanced Science Letters, 24(11), 8226–8230. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12529
Patimah, S., & Tabrani ZA. (2018). Counting Methodology on Educational Return Investment. Advanced Science Letters, 24(10), 7087–7089. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12414
Tabrani ZA, & Masbur. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 99–112. Retrieved from http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/cobaBK/article/view/600
Tabrani ZA, Idris, S., & Hayati. (2019). Islam dan Kuasa Seksualitas Perempuan di Indonesia. Yin Yang: Jurnal Studi Islam, Gender Dan Anak, 14(1), 17–32.
Tabrani ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (antara Tradisional dan Modern). Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.
Tabrani ZA. (2011a). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99–113.
Tabrani ZA. (2011b). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395–410.
Tabrani ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271–284.
Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.
Tabrani ZA. (2013b). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent.
Tabrani ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.
Tabrani ZA. (2015a). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tabrani ZA. (2015b). Persuit Epistemology of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Warisno, A., & Tabrani ZA. (2018). The Local Wisdom and Purpose of Tahlilan Tradition. Advanced Science Letters, 24(10), 7082–7086. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12413

Penghormatan Terhadap Nilai-nilai Normatif yang Sakral

By: Tabrani. ZA

Islam adalah agama wahyu-langit (revealed religio). Ia diturunkan oleh Allah Yang Transenden untuk seluruh manusia dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu Islam menuntut autensitas/ keajegan dan tidak boleh mengalami deviasi/ penyimpangan dan distorsi/ perubahan sebagaimana yang terjadi pada agama lain karena Islam adalah agama yang par excellent. Namun disisi lain kehidupan dan manusia selalu mengalami dinamisasi dan perubahan, maka agar agama Islam bisa berfungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, dia harus mampu mengakomodasi perubahan perubahan yang terjadi sehingga agama Islam tidak kehilangan fungsinya (out of context) sebagai pedoman hidup manusia.
Tantangan mendasar bagi kaum muslimin di sepanjang sejarah adalah menemukan cara menjadikan al Qur’an relevan dengan berbagai situasi dan kondisi baru yang terus berubah. Karena itulah para ulama, cendekiawan dan pemikir berusaha menemukan cara untuk menemukan berbagai aturan normative pada situasi baru serta menarik berbagai prinsip dan nilai yang substansial; atau dalam bahasa Fazlurrahman, mengambil ideal moral yang bersifat universal dan kemudian menerapkannya dalam konteks legal spesifik. Menurut Mattson (2013:316), sejumlah sarjana pada abad 20-an mengembangkan berbagai pendekatan baru terhadap Islam dengan menyerukan kontekstualisasi sehingga banyak orang Islam yang menyebut mereka keluar dari ortodoksi Islam, dikarenakan pemahaman mainstream masih menganggap bahwa pemeliharaan agama adalah identik dengan penghormatan terhadap nilai-nilai normatif yang sakral. Karenanya diperlukan metodologi yang tepat dan konsisten untuk menentukan sejauh mana suatu konteks dipandang relevan bagi sebuah pemahaman dan kapan waktu yang tepat untuk mendahulukan prinsip-prinsip umum atas aturan khusus.
Kekhawatirannya adalah resiko melakukan kontekstualisasial al-Qur’an secara berlebihan dan terlalu bersandar pada prinsip-prinsip umum dapat melahirkan sikap merelativekan kandungan al-Qur’an sehingga ajarannya yang eksplisit hanya berlaku bagi satu situasi saat wahyu diturunkan. Meskipun demikian garis pemisah antara konteks yang relevan dan kepentingan pribadi atau relativisme yang sembrono sulit dibedakan.

Referensi
Tabrani ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (antara Tradisional dan Modern). Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.
Tabrani ZA. (2011a). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99–113.
Tabrani ZA. (2011b). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395–410.
Tabrani ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271–284.
Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.
Tabrani ZA. (2013b). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent.
Tabrani ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.
Tabrani ZA. (2015a). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tabrani ZA. (2015b). Persuit Epistemology of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak.


Silabus Filsafat Ilmu FTK UIN Ar-Raniry

Mata Kuliah ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan dan pelayanan kepada mahasiswa untuk melakukan analisis dan membangun pemahaman dan teori tentang filsafat ilmu. Kajian perkuliahan meliputi: Kedudukan Filsafat Ilmu (Pengertian, Tujuan, Objek Kajian dan Kedudukan Filsafat Ilmu); Hakikat Filsafat Ilmu (Pendekatan, Cara Kerja, Landasan, Hakikat, Objek, Nilai dan Kegunaan Ilmu); Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Karakteristik, Obyek dan Metode Pengembangan Ilmu); Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan Ilmiah; Dasar Pengetahuan dan Kriteria Kebenaran (Kriteria Kebenaran dan Perkembangannya); Persoalan-Persoalan Pokok dalam Pengembangan Ilmu (Pre-Asumsi dan Asumsi Dasar, Sumber, Prinsip dan Batas-batas Pengembangan Ilmu); Berbagai Aliran Pengembangan Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi); Pendekatan-pendekatan dalam pengembangan ilmu (instrumen ilmu dan pengetahuan serta logika keilmuan); Orientasi Keilmuan Islam; Trilogi Dimensi Epistemologi Keilmuan Islam (Bayani, Irfani dan Burhani); Integrasi Agama, Sains dan Epistemologi Keilmuan Islam; Dimensionalitas Ilmu (Dimensi Ilmu); Penerapan Filsafat Ilmu terhadap Pengembangan Ilmu.
Secara umum matakuliah ini mengajak mahasiswa untuk memahami filsafat yang tidak dalam kecurigaan superior antara filsafat, agama dan Ilmu. Dengan demikian pemahaman komplementer-sirkuler perlu ditekankan. Mahasiswa diajak untuk berpikir secara rasional dengan bingkai pemikiran filsafat. Mata kuliah ini mengharap pada mahasiswa agar mampu berpikir kritis, rasional logis, dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan persoalan terkait pengembangan keilmuan yang ditekuninya dan kehidupan setiap harinya.

Silabus dan RPS Filsafat Umum FEBI UIN Ar-Raniry

Mata kuliah Filsafat Umum ini memuat materi ajar yang mencakup arti dan lingkup filsafat, sebab-sebab lahirnya filsafat, perkembangan pemikiran filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai zaman modern, cabang-cabang dan aliran-aliran filsafat, ciri dan karakteristik setiap aliran filsafat beserta tokoh-tokohnya, juga memuat ajaran-ajaran pokok dari para filsuf dan beragam aliran kefilsafatan.
Secara umum matakuliah ini mengajak mahasiswa untuk memahami filsafat yang tidak dalam kecurigaan superior antara filsafat, agama dan Ilmu. Dengan demikian pemahaman komplementer-sirkuler perlu ditekankan. Mahasiswa diajak untuk berpikir secara rasional dengan bingkai pemikiran filsafat. Mata kuliah ini mengharap pada mahasiswa agar mampu berpikir kritis, rasional logis, dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan persoalan terkait pengembangan keilmuan yang ditekuninya dan kehidupan setiap harinya.
Sampai pada akhirnya mahasiswa akan memahami dan mengenal dasar-dasar Filsafat Ekonomi Islam secara komprehensif, yang memiliki landasan rasionalitas tetapi tidak menghilangkan aspek ritualitas, karena dalam beragama tidak semua ajarannya bersifat rasional dan bisa memuaskan secara intelektual. Pengalaman dalam beragama bukan hanya bisa diliat secara fisik melainkan juga pengalaman batin, karna hal tersebut merupakan sebagai proses berhubungan dengan Tuhan. Pada titik ini, akal manusia dan batas rasionalitas itu berhenti. Beragama adalah hidayah yang diberikan Tuhan, suatu pangilan dan penyerahan diri kepada Tuhannya. Islam sesungguhnya didasarkan pada prinsip Tauhid (satu), yaitu prinsip bahwa Allah menjadi pusat kehidupan dan kematian, yang menjadi awal dan akhir segala sesuatu adalah Tuhan yang satu.

Menggugat Disertasi dan Pemikiran Abdul Azis Tentang Konsep Milk al-Yamin

Oleh: Tabrani ZA
Disertasi yang diajukan Abdul Aziz dengan judul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” yang diujikan pada 28 Agustus 2019 lalu di UIN Sunan Kalijaga, dengan membedah pemikiran cendekiawan asal Suriah, Muhammad Syahrur, Abdul akhirnya dinyatakan lulus dengan beberapa catatan dari penguji.
Akan tetapi ada sedikit harus dijelaskan bahwa pandangan Syahrur terhadap Milk-al Yamin tersebut cukup problematik. Problemnya terletak pada subjektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi wawasannya tentang tradisi kultur dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain, sehingga memaksa ayat alquran agar sesuai dengan pandangannya. Alhasil ayat-ayat tentang Milk al-Yamin yang dahulu ditafsirkan sebagai budak dipahami Syahrur dengan setiap orang yang diikat kontrak hubungan seksual. Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfaatkan tuannya untuk berhubungan seksual, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks apapun bentuknya, marital atupun non marital, halal.
Penafsiran Syahrur tersebut dianggap terlalu subyektif, sehingga mengesampingkan makna obyektif dalam ayat alquran. Analogi budak dan orang yang diikat kontrak terlalu simplisistik karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas. Padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat soal Milk al-Yamin, yakni martabat kemanusiaan yang oleh ayat alquran sangat dijunjung tinggi.

Satu hal yang dilupakan oleh Abdul Aziz bahwa posisi Syahrur sejalan dengan pendapat yang menolak sinonimitas karena ia menggabungkan teori sinkronik Ibnu Jinni dan teori diakronik al-Jurjani, karena keduanya saling melengkapi dan terkait dengan sejarah kata-kata. Jika mengakui sinonim berarti ia mengingkari sejarah kata-kata karena setiap kata mempunyai makna sesuai konteks penggunaannya yang terus berkembang. Penafian sinonimitas berimplikasi terhadap redefinisi terma-terma yang dianggap sinonim seperti al-kitab, Alquran, furqan inzal dan tanzil, dan imam mubin dan kitab mubin, ummul kitab dan lauh al-mahfudz, qada' dan qadar, zaman dan waqt, mu'min dan muslim, uluhiyah dan rububiyyah, manna dan salwa, konstruk rukun Islam, iman, dan nama-nama Alquran yang selama ini disinonimkan.

Dari penggunaan analisis syntagmatic bagi Abdul Aziz selaku pengkaji Syahrur sepertinya belum selesai membaca karyanya Syahrul. Karena Syahrul sendiri mengkonstruk tidak hanya kandungan Alquran tetapi juga meredefinisi terma yang selama ini disinonimkan dengan nama Alquran, maka siapa saja yang membaca karya syahrul jelas akan menangkap ketidakonsistenan Syahrur, karena jika ditilik pada pandangannya tentang konsep al-Dzikr, al-inzal dan al-tanzil dimana disatu sisi al-Dzikr merupakan proses perubahan kepada bahasa manusia yang cenderung terjadi desakralisasi terhadap teks, namun di sisi lain dengan analisis syntagmatic ini dengan sendirinya Syahrul mementalkan teorinya sendiri terhadap transformasi bahasa tersebut.

Dengan tidak berusaha menghakimi ataupun membela, sebenarnya Disertasi Abdul Azis tersebut mendiskusikan tentang konsep metodologi hermeneutika yang diusung Syahrur dalam memahami konsep Milk Al-Yamin dalam Alquran. Kecenderungan hermeneutika yang ditawarkan, konsistensi atau inkonsistensinya mengaplikasikan teori pembacaan kontemporernya. Pertama, ia mencoba mengkaji Alquran dengan dekonstruksi atau rekonstruksi dengan mendobrak produk pemikiran yang selama ini dianggap “mapan” dan “sakral” tidak hanya pada tataran metodologi melainkan juga pilar-pilar akidah. Kedua, ia mengatakan bahasa Alquran tetap tauqifi walau dalam kandungannya ia interpretable. Ketiga, kontekstualisasi ada pada teks itu sendiri melalui struktur linguistiknya. Keempat, teori linguistik yang di anut oleh Syahrul dari gurunya yang berakar pada pandangan Ibnu Jinni bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa, dan karenanya ia membedakan terma yang selama ini disinonimkan dengan Alquran dan ini yang terlupakan oleh Abdul Aziz. Kelima, karena pemikiran syahrul yang sangat rasional dan cenderung dipengaruhi empirisisme, sehingga Abdul Aziz sepertinya terjebak oleh pemahaman yang sangat tergantung pada rasio dan dunia empirik, padahal Alquran memiliki sisi-sisi transenden yang tidak semuanya terwujud dalam dunia nyata.

Selanjutnya, dalam kontek keindonesiaan dan keislaman, mari kita melihat kasus Abdul Azis ini secara akademik, karena karya yang dihasilkan tersebut adalah sebuah kajian akademik. Dalam melihat kasus tersebut setidaknya ada 2 (dua) catatan penting dalam kita melihat fenomena ini. Pertama, meminjam perspektif filsafat yang mensistematisasi pada 3 (tiga) hal, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam konteks filsafat itu, ontologi itu membahas bagaimana hakikat sebuah obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan, sedangkan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam kerangka ini, Abdul Aziz cenderung berorientasi ingin meraup pada ketiga hal itu, sehingga ia menghadapi kendala yang sangat serius. Ketika sebuah temuan dengan mengangkat teori Syahrur bahwa Milk al-Yamin itu hubungan seksual nonmarital maka jika berhenti pada tingkat epistemologi itu merupakan sebuah keabsahan. Artinya, temuan dari sebuah hasil kajian itu memiliki keabsahan jika memang dilakukan dengan metodologi dan kerangka berpikir ilmiah. Apalagi, ini adalah sebuah hasil kajian semata, bukan sebuah fatwa yang mengikat. Akan tetapi, kerangka epistemologi jika akan diimplementasikan pada tingkat aksiologi maka tentu ia akan berhadapan dengan nilai. Di sinilah problem mendasar dari disertasi Abdul Aziz itu hingga menimbulkan kontroversi yang demikian besar. Bahkan, dengan keyakinannya, Abdul Aziz menyatakan bahwa temuan disertasinya ini akan mampu meredam praktek-praktek kriminalisasi pezina, yang itu sesungguhnya telah memasuki klaim aksiologis. Tentu, temuannya itu akan berhadapan dengan nilai dan norma yang selama ini telah dibangun oleh masyarakat, sehingga kita bisa memafhumi jika kemudian respons publik menolak keras atas temuan ini. Karena, itu telah memasuki ruang aksiologis.

Kedua, fenomena disertasi Abdul Aziz ini semakin memperjelas betapa batas demarkasi antara validitas akademik dengan validitas sosial itu demikian jelas. Sesuatu yang valid secara akademik belum tentu valid secara sosial. Demikian juga, valid secara sosial belum tentu valid secara akademik. Kebenaran-kebenaran ilmiah belum tentu dapat diterapkan bahkan akan produktif secara praktis di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya temuan Abdul Aziz dan temuan-temuan akademik lainnya. Termasuk juga, dalam temuan para saintis berupa teknologi cloning, itu absah secara akademis namun tidak patut secara sosial jika digunakan untuk meng-cloning manusia. Demikian juga, praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat juga belum tentu memiliki justifikasi secara akademik, seperti fenomena politisasi agama, menempatkan posisi perempuan sebagai kelas kedua, dan lain-lain. Kedua kevalidan itu sebaiknya perlu dilakukan dialog dan kedewasaan bersikap secara produktif sehingga akan menemukan titik temunya yang pas. Demikian.

Trilogi Dimensi Filsafat Pendidikan Islam

Dasar-dasar pendidikan Islam secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasarpembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utamatentu saja al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an misalnya memberikan prinsip penghormatan kepada akal, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusiadan memelihara kebutuhan sosial yang hal ini sangat penting bagi pendidikan. Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatanyang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah atas prinsip mendatangkan kemashlahatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia.Kemudian warisan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. 

Dasar Filosofis Pendidikan Islam

Dasar filosofis pendidikan Islam merupakan kajian filosofis mengenai pendidikan Islam yang didasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para sahabat nabi SAW sebagai sumber sekunder. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan filsafat Islamadalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafatpendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam. Dasar-dasar pendidikan Islam secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasarpembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utamatentu saja al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an misalnya memberikan prinsip penghormatan kepada akal, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusiadan memelihara kebutuhan sosial yang hal ini sangat penting bagi pendidikan. Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatanyang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah atas prinsipmendatangkan kemashlahatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia.Kemudian warisan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. Di samping itu, di bagianlain Azyumardi Azra juga mengemukakan mengenai sumber dan dasarpendidikan Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah serta nilai-nilai, norma dantradisi sosial yang memberi corak keislaman dan dapat mengikuti perkembangannya. Pendidikan Islam berpangkal dari ajaran Ilahiyah, maka tentu harusbersumber dari kebenaran dan kebesaran Ilahi. Bagi kita sumber kebenaranIlahi telah diperkenalkan kepada manusia melalui para nabi berupa kitab suci.Dari empat kitab suci yang pernah diturunkan sebagai petunjuk umat manusia, maka sejak kehadiran Rasulullah SAW. di muka bumi ini satu yang harusditegakkokohkan yakni al-Qur’an. Di samping itu ketetapan-ketetapan Rasul SAW juga merupakan sumber utama pendidikan Islam.

Epistemologi Pendidikan Islam

Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemology adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh.
Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi memerlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya.
Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa dipastikan bahwa jika pendekatan epistemologi ini benarbenar diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya.
Pendekatan epistemology membuka kesadaran peserta didik untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, bahkan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh. Disisi lain epistemology yang merupakan pendekatan yang berbasis proses akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, sebagaimana berikut ini:
1.      Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas untuk dinilai ; mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional.
2.      Mengubah pola pendidikan islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berfikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, dan logis. Intinya pendekatan epistemology ini menuntut guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3.      Mengubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah. Sebab paradigma ideologis ini karena otoritasnya dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka dan dinamis. Secara praktis, pradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas yang bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, Al-Qur’an sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, mengobservasi, dan melakukan penemuan pada ayat kauniyah. Oleh karena itu agar epistemology pendidikan islam terwujud maka konsekuensinya harus berbijak pada wahyu Allah.
4.      Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemology ini, perlu dilakukan rekontruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab pengetahuan yang bersumber dari hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) dan ayat al-Qur’an atau naqliyah merupakan ilmu Allah. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari-Nya. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis dan transedental perlu diturunkan dan dan dikaitkan dengan dunia empiris dan lapangan.
5.      Epistemology pendidikan islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal dan akhlak.
6.      Konsekuensi yang lain adalah mengubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual menjadi pendekatan konstektual atau aplikatif.
7.      Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang kompeherensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.

Ontologi Pendidikan Islam

Kata ontologi, berasal dari dua kata dasar yaitu Ontos dan Logos. Ontos yang berarti Ada dan Logos yang berarti Ilmu. Sehingga secara global istilah onntologi bisa diartikan sebagai suatu ilmu yang mengkaji tentang hakiat dari segala sesuatu Yang-Ada. Hakikat dalam kajian on­tologi adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan semen­tara yang selalu berubah-ubah.
Ontologi pendidikan Islam adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia Jumhur, “Karakteristik Pendidikan Islam sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam.

1.      Konsep Pendidikan Dalam Islam
Heri jauhari menyebutkan bahwasannya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta serta memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya. Menurut Hasan al-Banna -sebagaimana dikutip A. Susanto- konsep pendidikan islam meliputi tiga sisi, yaitu pengembangan potensi jasmani, akal dan hati sebagai tiga unsur pokok yang dimiliki manusia dan sekaligus sebagai pewarisan kebudayaan Islam.
Hamka berpendapat pendidikan terbagi menjadi dua. Pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan agama, kedua unsur tersebut memiliki kecendrungan untuk berkembang. Hal ini sebagaimana disadur oleh A.Susanto dalam Pemikiran pendidikan Islam.

2.      Tujuan Pendidikan dalam Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai; artinya tujuan merupakan kehendak seseorang untuk mendapatkan dan memiliki, serta memanfaatkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri atau untuk orang lain. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana disebutkan Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk akhlak , dan fungsi social yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain serta masyarakat dengan masyarakat lain sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan seimbang.

3.      Hakikat Manusia dalam Pendidikan Islam
Manusia dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk unik (luar biasa) lantaran kedudukannya sebagai khalifah. Manusia mempunyai fitrah yang baik, kemampuan berkehendak (free will), badan raga, ruh dan akal. Dengan demikian, pendidikan harus mengembangkan atribut-atribut manusia tersebut. Demikian pula pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman yang menyadari dan memperhatikan komponen-komponen fitrahnya, tanpa mengorbankan salah satu demi pengembangan yang lain.
Inti dari konsep pendidikan menurut Al-Qur’an adalah proses pengembangan dan pembetukan manusia yang selalu berlandaskan tauhid/mengesakan Allah, beribadah dan membesarkan nama-Nya. Karena Allah tiada menciptakan manusia kecuali beribadah untuk menyembah-Nya. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).

4.      Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Jadi, kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Keberadaan kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsanya dan turut serta secara aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Alat pendidikan yang di maksudkan penulis adalah media untuk terlaksananya proses pendidikan, maka alat disini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk didalamnya metode pendidikan menurut al-Qur’an. Sehingga metode dan alat pendidikan dalam masyarakat adalah cara dan segala apa saja yang dapat digunakan untuk menuntun dan membimbing setiap individu masyarakat dalam usaha membentuk kepribadian muslim yang diridhai Allah. Oleh karena itu, alat dan metode pendidikan dalam masyarakat haruslah searah dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
 Kurikulum mempunyai peran penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul karimah yang selalu berlandaskan tauhid/ mengesakan Allah, beribadah kepada-Nya.

Aksiologi Pendidikan Islam

Aksiologis membahas tentang hakikat nilai, yang didalamnya meliputi baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Terwujudnya kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Selain konteks etika profetik, aksiologis dalam pendidikan Islam meliputi estetika yang merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi yang berhubungan dengan seni. Dengan seni itulah, nantinya bisa dijadikan sebagai media dan alat kesenangan, sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, di mana setiap persoalan pendidikan Islam dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam) sehingga pendidikan Islam tetap memiliki daya tarik dan kajian yang senantiasa berkesinambungan serta relevan hingga akhir zaman.
Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu:
  1. Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah (QS. Ali Imran: 191).
  2. Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar berbuat baik terhadap sesama. (QS. al-Qashash: 77)
  3. Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup dengan tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya manusia yang cakap, terampil dan profesional. (QS. al-Hasyr: 18).
  4. Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta, sebagaimana termaktub dalam QS.al-Anbiya’: 107 berikut:
  5. Artinya: dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
  6. Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud penyebaran syiar Islam.
  7. Maka kemudian, jika landasan ini senantiasa menjadi pegangan hidup dalam lingkup pendidikan Islam, maka unsur aksiologis pendidikan Islam tetap abadi dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abbas, S., Tabrani ZA, & Murziqin, R. (2016). Responses of the Criminal Justice System. In International Statistics on Crime and Justice (pp. 87–109). Helsinki: HEUNI Publication.
Abas, E. (2019). The Effect of Madrasah Principal's Leadership and Teachers' Work Motivation on Learning Effectiveness in Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 305-314. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.271
Abdullah, A., & Tabrani ZA. (2018). Orientation of Education in Shaping the Intellectual Intelligence of Children. Advanced Science Letters, 24(11), 8200–8204. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12523
Abubakar, A., Srimulyani, E., & Anwar, A. (2019). Identification of Some Distinctive Values of Acehnese Malee (Shyness) for Character Education. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 125-140. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.224
Anim, A., Prasetyo, Y., & Rahmadani, E. (2019). Experimentation of Problem Posing Learning Model Assisted of Autograph Software to Students’ Mathematical Communication Ability in Terms of Student’s Gender. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 331-342. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.301
AR, M., Usman, N., Tabrani ZA, & Syahril. (2018). Inclusive Education Management in State Primary Schools in Banda Aceh. Advanced Science Letters, 24(11), 8313–8317. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12549
Bustamam-Ahmad, K. (2019). The Religious Imagination in Literary Network and Muslim Contestation in Nusantara. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 217-244. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.344
Dewi, N., & Atun, S. (2019). The Effect of Science Technology Society (STS) Learning On Students’ Science Process Skills. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 113-124. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.288
Fahmi, C., AR, M., Nurliza, E., & Usman, N. (2019). The Implementation of Academic Supervision in Improving Teacher Competency at Primary School. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 181-194. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.202
Fitriani, N., & Sabarniati, S. (2019). A Feedback Investigation of Comparing Teacher and Students’ Preferences on Writing Conference in a Novice EFL Writing Class. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 315-330. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.304
Fuadi, T. (2019). Reproduction Based on Islamic Culture: Effort to Increase Understanding of Reproduction System and Prevention of Infectious Diseases. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 269-284. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.234
Haji Musa, N., & Mohd Yusoff, M. (2019). Professional Values Influence on the Teachers’ Quality of Islamic Secondary School. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 295-304. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.415
Hardianto, H. (2019). Conducting Quality Culture in Educational Institutions. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 257-268. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.210
Hayati, H., & Mayasari, E. (2019). The Implementation of Integrity Learning Through Entrepreneurship Activities and Anti-Corruption Behavior. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 285-294. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.259
Hidayati, T., & Endayani, T. (2019). Smartphones to Learn English: The Use of Android Applications by Non-English Major Students in West Aceh. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 95-112. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.231
Idris, S., & Tabrani ZA. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 3(1), 96–113. https://doi.org/10.22373/je.v3i1.1420
Idris, S., Tabrani ZA, & Sulaiman, F. (2018). Critical Education Paradigm in the Perspective of Islamic Education. Advanced Science Letters, 24(11), 8226–8230. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12529
Kurniawati, E., & Sunarso, S. (2019). Forming Students’ Character through School Culture in Senior High School Taruna Nusantara Magelang. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 141-162. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.298
Meraj, M. (2016). Islamic Approach to the Environment and the Role's in the Environment Protected. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(1), 1-14. doi:10.26811/peuradeun.v4i1.81
Mohd. Yusuff, M., Haji Othman, M., Suhid, A., & Khalid, R. (2019). The Practice of Noble Values among Primary School Students in Malaysia. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 163-180. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.385
Muksal, M., Wahyuddin, W., Nirzalin, N., & Zulfikar, Z. (2019). The Role of Government in Illegal Fishing Prevention to Increase Fishermen's Economic Welfare in Aceh Province. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 357-368. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.189
Murziqin, R., & Tabrani ZA. (2016). The Importance of Local Parties and Incumbency to the Electoral in Aceh. Journal of Islamic Law and Culture, 10(2), 123–144.
Murziqin, R., Tabrani ZA, & Zulfadli. (2012). Performative Strength in the Hierarchy of Power and Justice. Journal of Islamic Law and Culture, 10(2), 123–144.
Musradinur, & Tabrani ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia). 1st Annual International Seminar on Education 2015, 77–86. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press.
Usman, N., AR, M., & Marzuki, M. (2016). The Influence of Leadership in Improving Personnel Performance at Traditional Islamic Boarding School (Dayah). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2), 205-216. doi:10.26811/peuradeun.v4i2.98
Nasution, W. (2018). The Effectiveness of Teachers’ Performance of Islamic Junior High School in Islamic Boarding School Langkat District, Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 6(2), 325-338. doi:10.26811/peuradeun.v6i2.285
Nurhasanah, N., & Fitriana, Q. (2018). The Influence of Emotional Intelligence on Social Adjustments of Tenth Grade Students of SMA Unggul Negeri 2 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 6(2), 253-266. doi:10.26811/peuradeun.v6i2.212
Nufiar, N., & Idris, S. (2016). Teacher Competence Test of Islamic Primary Teachers Education in State Islamic Primary Schools (MIN) of Pidie Regency. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(3), 309-320. doi:10.26811/peuradeun.v4i3.105
Patimah, S., & Tabrani ZA. (2018). Counting Methodology on Educational Return Investment. Advanced Science Letters, 24(10), 7087–7089. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12414
Rahayu, S., Irwan, I., & Ariesta, A. (2019). A The Strategies of Sellers in Mobility Market Viewed from Socio-economic Perspective. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 343-356. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.323
Saepullah, U. (2019). The Inter-Religious Marriage in Islamic and Indonesian Law Perspective.Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 43-58. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.317
Salami, S. (2015). Implementing Neuro Linguistic Programming (NLP) in Changing Students’ Behavior: Research Done at Islamic Universities in Aceh. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 3(2), 235-256.
Solikhin, F., Sugiyarto, K., & Ikhsan, J. (2019). The Impact of Virtual Laboratory Integrated Into Hybrid Learning Use On Students’ Achievement. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 81-94. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.268
Sulaiman, A., Masrukin, M., & Suswanto, B. (2019). The Implementation of Community Empowerment Model as a Harmonization in the Village Traumatized by Terrorism Case.Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 59-80. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.257
Siswanto, R., Sugiono, S., & Prasojo, L. (2018). The Development of Management Model Program of Vocational School Teacher Partnership with Business World and Industry Word (DUDI). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 6(3), 365-384. doi:10.26811/peuradeun.v6i3.322
Syahrir, S. (2018). Islamic Education with National Insight Viewed from Islamic Perspective. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 6(1), 121-140. doi:10.26811/peuradeun.v6i1.192
Syahril, S., & Idris, S. (2019). The Concept of Child Education Through Dodaidi in Aceh. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 369-382. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.337
Tabrani ZA. (2008). Mahabbah dan Syari`at. Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.
Tabrani ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (antara Tradisional dan Modern). Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.
Tabrani ZA. (2011a). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99–113.
Tabrani ZA. (2011b). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395–410.
Tabrani ZA. (2011c). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Yang Bermartabat). 41–66. Yogyakarta: MSI UII.
Tabrani ZA. (2012a). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271–284.
Tabrani ZA. (2012b). Hak Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. International Conference Islam and Human Right, 123–142. Yogyakarta: MSI UII.
Tabrani ZA. (2013a). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah). Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65–84.
Tabrani ZA. (2013b). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent.
Tabrani ZA. (2013c). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa, 13(1), 91–106.
Tabrani ZA. (2014a). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing.
Tabrani ZA. (2014b). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing.
Tabrani ZA. (2014c). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.
Tabrani ZA. (2014d). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam Perspektif Pedagogik Kritis. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250–270. https://doi.org/10.22373/jiif.v13i2.75
Tabrani ZA. (2014e). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1), 19–34.
Tabrani ZA. (2014f). Penelitian Tindakan Kelas (Buku Ajar)-Bahan Ajar untuk Mahasiswa Program Strata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press.
Tabrani ZA. (2014g). Peran Pendidikan Islam dalam Pengembangan Moral Rakyat (Studi atas Islam dan Perannya dalam Pembangunan Nasional Indonesia). Jurnal Sintesa.
Tabrani ZA. (2015a). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tabrani ZA. (2015b). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1–14.
Tabrani ZA. (2015c). Persuit Epistemology of Islamic Studies. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tabrani ZA. (2016a). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130–146. https://doi.org/10.22373/je.v2i2.812
Tabrani ZA. (2016b). Transformasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah singkat Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i-International Journal of Government and Social Science, 2(1), 41–60.
Tabrani ZA. (2017a). Menggugat Logika Nalar Rasionalisme Aristoteles. Yogyakarta: Mizan.
Tabrani ZA. (2017b). Restrukturrisasi untuk Pendidikan Bermutu. Research in Education, 12(1), 131–136.
Tabrani ZA. (2017c). دور التربية الإسلامية في الإنماء الخلقي للشعب (دراسة على الإسلام ودوره في الإنماء القومي بإندونيسيا). Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies, 4(1), 101–116. https://doi.org/10.20859/jar.v4i1.128
Tabrani ZA. (2019). Social Change and Human Nature. In The New System’s Need for Primitive Capital Accumulation (pp. 271–277). United Kingdom: Taylor & Francis.
Tabrani ZA, & Hayati. (2013). Buku Daras Ulumul Quran (1). Yogyakarta: Darussalam Publishing.
Tabrani ZA, Idris, S., & Hayati. (2019). Islam dan Kuasa Seksualitas Perempuan di Indonesia. Yin Yang: Jurnal Studi Islam, Gender Dan Anak, 14(1), 17–32.
Tabrani ZA, & Masbur. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 99–112. Retrieved from http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/cobaBK/article/view/600
Tabrani ZA, & Walidin, W. (2017). Hak-Hak Non Muslim dalam Pemerintahan: Konsep Dien wa Ni’mah dan Pluralisme Agama di Indonesia. Ijtima`i: International Journal of Government and Social Science, 3(1), 15–30.
Tabrani ZA. (2019a). Constructive Ideas for Teaching Addition Skills. Research in Education, 14(2), 131–142.
Tabrani ZA. (2019b). Konfigurasi Pendidikan Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikologis dan Sosial-Kultural. Ethics and Education, 12(1), 13–20.
Tan, C. (2015). Educative Tradition and Islamic School in Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 3(3), 417-430.
Usman, N., AR, M., Murziqin, R., & Tabrani ZA. (2018). The Principal’s Managerial Competence in Improving School Performance in Pidie Jaya Regency. Advanced Science Letters, 24(11), 8297–8300. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12545
Usman, N., AR, M., Syahril, Irani, U., & Tabrani ZA. (2019). The implementation of learning management at the institution of modern dayah in aceh besar district. Journal of Physics: Conference Series, 1175(1), 012157. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1175/1/012157
Walidin, W., Idris, S., & Tabrani ZA. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif & Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press.
Warisno, A., & Tabrani ZA. (2018). The Local Wisdom and Purpose of Tahlilan Tradition. Advanced Science Letters, 24(10), 7082–7086. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12413
Wekke, I., Arif, B., Zubair, A., & Wardi, M. (2019). The Role of Muhammadiyah Institution Towards Muslim Minority in West Papua. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 21-42. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.311
Yuniati, S., & Susilo, D. (2019). Strengthening Model of Institutional Capacity of Sugarcane Farmers in Situbondo Regency. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 195-206. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.293
Yusup, D. (2019). Multi Contract as A Legal Justification of Islamic Economic Law for Gold Mortgage Agreement in Islamic Bank. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(1), 1-20. doi:10.26811/peuradeun.v7i1.318
Zanabazar, A., & Battuya, B. (2019). Current Status of Social Responsibility for Mongolian Mining Companies. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 7(2), 245-256. doi:10.26811/peuradeun.v7i2.409

Download Full Article