By. Tabrani. ZA
Secara
normatif, Islam itu absolut, sakral dan universal yang kebenarannya
trans-historis melewati batas ruang dan zaman, sehingga dalam wilayah ini ia tunggal.
Ketunggalan Islam terwakili oleh al-Qur’an - walaupun Islam telah ekspansif
dalam area multi-bahasa dan menyejarah dalam multi era - tetapi sumber norma
itu tidak pernah mengalami distorsi. Sebagaimana ungkapan Muhammad Iqbal “the
prophet of Islam seems to stand between the ancient and the modern world. In so
far as the source of his revelation in concerned he belong to the ancient
world, in fo far as the spirit of his reveleation is concerned he belongs to
the world” (Nabi Muhammad, rupanya berdiri diantara dunia purba dan dunia
modern, sejauh mengenai sumber masa wahyu, maka dia miliki dunia purba, sejauh
dengan spirit dan jiwa wahyunya, maka dia adalah milik dunia modern, kapan saja
tidak pernah usang (Iqbal, 1981: 126).
Al-Qur’an
merupakan sumber norma yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan vertikal
dengan Tuhan maupun hubungan horisontal sesama manusia. Ia memuat nilai-nilai
kemanusiaan yang universal yang diberlakukan kepada semua manusia pada tingkat
yang sama. Dalam khazanah pemikiran Islam alQur’an telah melahirkan sederetan
teks turunan dengan berbagai versi, sifat, dan pendekatannya yang sedemikian
luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua – bila
al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama- yang mengungkapkan dan menjelaskan
makna-makna, norma, simbolisasi dan substansi yang terkandung dalam al-Qur’an
dengan kecenderungan dan karakteristik, visi, misi dan orientasi, perspektif
dan teori yang berbeda-beda (Gusnian, 2003:17).
Namun ketika Islam normatif ditransformasikan dalam ranah
empirik dan historisitas manusia, maka kebenarannya menjadi profan, temporer,
terikat ruang waktu, karenanya pada level ini, Islam menjadi dinamis, relatif,
dan plural. Hal ini terjadi karena meskipun teks al-Qur’an diyakini seakan-akan
sebagai penjelmaan dan kehadiran Tuhan, namun begitu memasuki wilayah sejarah,
firman Tuhan tadi terkena batasan – batasan kultural yang berlaku pada dunia
manusia. Pada periode awal pembumian al-Qur’an ketika hegemoni Muhammad SAW
yang memiliki hak otoritatif sebagai penafsir tunggal masih ada, maka
homogenitas makna terhadap alQur’an masih relatif dapat dipertahankan (Hidayat,
1996:9). Tetapi ketika Islam telah mengalami perkembangan secara geografis dan
zaman, wajah Islam menjadi semakin beragam dan heterogen.
Timbulnya
perbedaan adalah karena manusia yang imanen hanya berusaha mendekati kebenaran
al-Qur’an dengan otoritasnya masing-masing hingga parameter kebenaran pun
berbeda-beda. Implikasinya, setiap usaha manusia memahami teks selalu dilakukan
dengan sebuah model yang menjadi kaca mata dan juga presuppositional stand
point; pandangan yang dipegang sebelumnya; Prapaham-prapaham yang akan
berpengaruh besar pada setiap usaha memahami teks al-Qur’an.
Prapaham yang menginternalisasi dalam dirinya ini adalah
buah hubungan interaktif dirinya dengan masyarakat, pengalaman dan life-settingnya
dan ini membentuk visi dan persepsinya tentang bagaimana dunia ini telah dan
seharusnya ditata dan juga mengembangkan kesan dan penilaian-penilaian
tertentu atas teks. Al-Qur’an sebagai objek dan manusia sebagai subjek akan
selalu berinteraksi ketika pemahaman atasnya itu mau dihasilkan, karenanya akan
selalu ada segi subjektivitasnya, maka substansi pemahaman agama pada level ini
adalah penafsiran (Hidayat, 1996:53). Oleh karenanya dalam konteks pemahaman
terhadap normativitas Islam, selalu muncul polemik yang dibangun oleh adanya
siklus tesa-antitesa dan sintesa dan seterusnya yang membuat historisitas
pemahaman dan penafsiran terhadap Islam semakin beragam (Haryono, 2005:76).
Bahasa
al-Qur’an memang cenderung bersifat simbolik dan cakupan temanya juga bersifat
multi-dimensional sehingga memberi kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda
yang pada dasarnya merupakan spektrum konvergen karena ditentukan oleh berbagai
variabel menurut tingkat pemahaman praksis dan intelektual penafsir. Jadi pesan
wahyu terbuka lebar bagi manusia untuk diinterpretasikan sesuai atas kondisi
intelektual masyarakat, perkembangan bahasa, budaya dan zaman.
Islam dalam level historis memang tidak akan selalu
tunggal, ia tidak akan statis, akan selalu ada paradigma baru yang mengadaptasi
dimensi ruang waktu serta lokalitas seiring berjalannya sejarah. Pemahaman
keberagamaan dalam historisitas Islam berkembang terus tanpa henti.
Perkembangan itu sendiri - menurut Almakin - kompleks karena menyangkut begitu
banyak variabel. Hal ini bukanlah hal yang sederhana, karena setiap zaman
menghasilkan historisitas, penemuan, wacana dan pemahaman terhadap teks
normatif yang berbeda dengan zaman lainnya. Setiap ruang dan waktu menghasilkan
wacana, warna, gerakan, pembaharuan tersendiri yang setiap titik tekan
mengkritiki pemahaman sebelumnya sambil menelorkan teori baru (Mustaqim,
2002:30). Logika dan pemahaman agama, menurut Amin Abdullah, memerlukan sebuah continuous
process untuk menjawab realitas perkembangan sejarah yang berbeda-beda agar
nilai-nilai agama dapat mendorong perkembangan proses dan memperkaya konsep
pembentukan peradaban manusia. Sekali lagi, heterogenitas pemahaman terhadap
Islam terjadi sebagai proses dialektika antara teks yang sakral, konteks, dan
rasionalitas manusia yang profan. Posisi diametral antara teks dan konteks
itulah - jika dicermati dalam sejarah pemikiran Islam- selalu memunculkan
ketegangan kreatif antara gerakan pemahaman normatif di satu sisi, dan gerakan
pemahaman historis-liberal di sisi lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat dalam pemahaman teologi,
hukum, pemikiran politik serta bidang lainnya.
Dengan istilah yang sedikit berbeda, Amin Abdullah (2004)
menyatakan bahwa pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang
bercorak teologis normatif – tekstual dan kritis-historis tidak selamanya akur
dan irama hubungan antara keduanya seringkali diwarnai dengan tension dan
ketegangan baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Kelompok
normatif-tekstual acap menuduh bahwa pemahaman kelompok konteksrual adalah
pemahaman agama yang bersifat reduksionis sedangkan kontekstual mengklaim
pendekatan normatif itu mengabsolutkan teks yang tertulis tanpa berusaha
memahami latar belakang teks keagamaan
yang bersifat kultural psikologis maupun sosiologis. Karena itulah menurut
Amin, problema paling serius umat Islam yang sulit ditemukan solusinya adalah
bagaimana mengaitkan nilai-nilai normativitas yang fundamental yang absolut
dengan historisitas dan konteks kesejarahan kehidupan manusia yang selalu
mengalami perubahan peradaban.
Sesungguhnya
walaupun seringkali terjadi proses pencampuran yang kental dan pekat antara
dimensi historisitas manusia yang dinamis dan normativitas wahyu yang universal
dan kompatibel (shalihun li kulli zaman wa makan), namun menurut Amin
Abdullah, keduanya bisa dibedakan namun sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Masing-masing tidak mungkin teralienasi dari yang lain, berkelindan, blended,
dan interdependensi. Keduanya otomatis selalu terhubung secara dialektis, tanpa
berhenti pada satu sisi saja, keduanya flowing (mengalir) dan fluid
(cair berubah) tetapi tidak macet pada satu sisi saja. Jika tidak demikian akad
terjadi proses – di samping proses dominasi dan hegemonik yang satu atas yang
lain, yang saling menafikan sisi historisitas manusia atau sebaliknya – maka
akan meng’abaikan normativitas yang harusnya dihayati para pemeluk agama
(Abdullah, 2004). Hal ini secara ontologis, menurut Arkoun, memahami Islam
dapat menggunakan analogi koin atau kepingan mata uang logam yang pasti
memiliki dua sisi permukaan. Tidak ada dan mungkin ada sebuah koin yang hanya
memiliki satu permukaan, demikian juga Islam, tidak mungkin memilih satu di
antara dua sisi, normativitas dan historisitas. Normativitas menjadi sebuah
keniscayaan untuk
menjaga keajegan/ autensitas agar tidak mengalami distorsi
ataupun deviasi, sedang historisitas menjaga eksistensi agama agar tetap
kompatibel, akseptable dan berfungsi dalam kehidupan manusia.
Pendekatan normatif berangkat dari keyakinan bahwa Islam
itu agama wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak
mungkin mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi
kesimpulan yang diambil bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar
keyakinan teologis bahwa kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan
wahyu. Dengan demikian realitas harus tunduk dan menjadi sub-ordinasi di bawah
otoritas teks – teks agama (Mahmud, 2005:8). Sebaliknya pendekatan kedua,
historis, berasumsi bahwa setiap agama selalu lahir dalam konteks yang
menyejarah. Karena jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama menjadi absurd
dan tak memiliki makna apa-apa. Agar agama memiliki signifikansi, hal ini
mensyaratkan adanya proses dialektika dengan realitas empiris masyarakat karena
dengan ini agama dipercaya dapat mengubah realitas di luar dirinya dan pada
saat yang sama realitas luar itu berpengaruh terhadap agama. Bagi pendekatan
ini, praktik agama tidak harus melalui huruf per huruf dari firman Tuhan
melainkan cukup menangkap spirit universal agama. Agama bukanlah entitas yang
mengatasi sejarah, namun mengandung status spatio temporal yang terbatas
ruang dan waktu. Agama bukanlah produk Tuhan seratus persen, namun ada intervensi
sejarah, karena wahyu bukan turun di ruang hampa kebudayaan, namun justru
berkelindan dengan historisitas manusia.
Jika dianalogikan Islam laksana
bola salju (snow ball). Semakin lama semakin banyak pemeluknya, maka
wajah keberagamaan semakin plural dan multi wajah, beraneka dan semakin
warna-warni baik, secara sinkronik dan diakronik. Dari sini muncul pertanyaan
krusial, jika kalau begitu apakah mungkin mempertahankan autensitas Islam.
Manakah Islam yang autentik, Arabkah, Indonesiakah, atau bahkan Eropakah?
Periode salaf dulu, atau justru sekarang, atau yang manakah?. Ini adalah
persoalan paradigma, lebih urgen manakah antara teks/skriptural – legal formal
dengan nilai-nilai substansial, manakah diantara keduanya yang lebih autentik?
Memang agak problematis-dilematis. Jika autensitas diserahkan pada legal formal
teks, maka ia suatu saat mungkin dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua
ketentuan legal formal itu kompatibel dengan kondisi umat. Karena itu
autensitas harus berhadapan dengan fungsionalitas dan juga progresivitas.
Dalam proses ini sering terjadi
ketegangan ketika pengalaman keberagaam mulai berubah muatan dan
kompleksitasnya - bukan essensinya – lantaran perkembangan ilmu, teknologi dan
lainnya yang semuanya memperluas dan mengambangkan cakrawala pengalaman
pemikiran manusia. Pendukung pemikiran normatif sangat khawatir jika pemaknaan
kembali tersebut menyimpang dari sejarah intelektual lama yang sudah mapan,
diajarkan, didokumentasikankan, dan bahkan dipedomani. Pengusung normativitas
kadang lupa bahwa khazanah intelektual lama yang dianggap autentik dan sakral,
sejatinya juga merupakan produk dan respon pergumulan intelektual mereka dengan
sejarah zamannya. Jika produk pemikiran lama tidak dapat menerima perubahan,
maka ini akan membuat wilayah Islam menjadi tertutup (closed world view)
lantaran kebenaran pada wilayah metafisik – etik dan normatif kerap kali tidak
peduli, tidak berminat, dan tidak mempertimbangkan sama sekali dimensi lain
yaitu kesejarahan/historisitas manusia yang empirik. Ia sibuk dengan kebenaran
absolut mutlaknya tanpa mau memerinci apa yang disebut absolut mutlak itu,
padahal kemutlakan tersebut selalu dibungkus dalam pemikiran manusia yang
relatif. Penegasan dan ketidakpedulian ini akan menjadikan agama terkesan berwatak
antagonistik dan otoriter yang dikhawatirkan membuat ajaran Islam justru
semakin kering dari pemahaman realitas sosial yang arguable-debatable
akibat dari dinamika budaya dan sosial. Historisitas memang merupakan refleksi
dari normativitas dan sebaliknya normativitas itu dibangun dari pengalaman
historisitas. Selalu ada proses dialogis yang tak pernah berhenti antara spirit
keduanya secara dinamis sepanjang gerak umat Islam masih ada. Akhirnya, agama
yang merupakan refleksi dari titah Tuhan yang transenden memang bersifat
absolut, namun dalam proses pembumiannya, ia menjadi relatif karena pengaruh
ruang waktu.
Menurut Amin Abdullah
(2003:16), peradaban Islam sesungguhnya tidak lain adalah suatu hasil akumulasi
perjalanan pergumulan umat Islam ketika berhadapan dengan proses dialektika
antara “normativitas” ajaran wahyu yang permanen dan “historisitas” kesejarahan
pengalaman manusia di bumi yang selalu berubah secara dinamis. Norma bersifat
transenden sedangkan manusia adalah imannen. Relasi tarik menarik terkadang
saling afirmasi namun juga terkadang bahkan saling menegasikan, mengetepikan,
saling mencoba mendominasi eksistensi yang lain; antara kedua dimensi tersebut
selalu ada dalam perjalanan pemikiran Islam sepanjang sejarah. Sejauh mana
ideal moral dan wibawa normativitas wahyu yang terbungkus dalam pengalaman
empirik manusia di suatu tempat dan masa tertentu dapat ditangkap dan
diperlakukan kembali pada dimensi ruang dan waktu yang lain. Disinilah
persoalan krusial sering muncul, karena umat dituntut kreatif menggunakan
kecerdasannya untuk memetakan secara pas antara normativitas wahyu yang
universal dan historisitas manusia yang dinamis agar tidak terjadi dominasi
yang mematikan.
Dikatakan lebih lanjut oleh
Abdullah (2003), fakta sejarah membuktikan bahwa tidak mudah untuk memetakan
domain keduanya. Nyatanya relasi dan dialektika keduanya sering diwarnai
ketegangan bahkan “anomaly”. Terkadang historisitas Islam yang bersifat imanen
dan profan dipaksa untuk diperlakukan secara absolut dan permanen dan bahkan di
sakralkan akibatnya terjadi taqdis al-afkar aldiny (pensakralan
pemikiran kegamaan) atau ortodoksi menurut Fazlurrahman yang menyebabkan
keajegan dan bahkan kemandegan Islam di wilayah historis, sementara dinamika
historisitas menuntut perjalanan, kemajuan, bahkan lari mengahadapi
problematika kehidupan manusia. Ironinya menurut M. Arkoun -dikutip Amin
Abdullah bahwa telah terjadi proses pelapisan geologi pemikiran Islam sejak
abad 12 hingga saat ini, sehingga menepikan aspek historisitas kemanusian yang
sesunggunya selalu dalam on going process serta on going formation.
Contoh ketika membaca QS ‘Abasa yang menampakan dimensi historisitas dan
imanensi Muhammad SAW ketika bermuka masam dengan Abdullah bin Ummi Maktum.
Peristiwa itu menunjukan imanensi
atau kemanusiaan Muhammad SAW. Namun dengan kekuatan intetektual dan rasionya
manusia dituntut untuk menemukan dimensi normativitas peristiwa tersebut yang
bersifat universal, impertif, categorical dan necessary. Kejadian
historis dapat berbeda tetapi dimensi normativitas dan etika al-Quran tetaplah
sama bahwa QS ‘Abasa tersebut memerintahkan untuk memperlakukan manusia
harus adil dan egaliter, demokratis dan santun tidak boleh diskriminatif
terhadap stratifikasi dan kasta sosial yang berbeda. Aspek universalitas Islam
terletak pada normativitasnya yang bersifat categorical (mengikat semua
pihak) sedangkan historisitasnya bersifat particularcultural, terletak
pada kejadian empirik yang dihadapi Nabi (Amin Abdullah, 2003: 20).
Referensi
Abdullah, A., & Tabrani ZA. (2018). Orientation of
Education in Shaping the Intellectual Intelligence of Children. Advanced
Science Letters, 24(11), 8200–8204.
https://doi.org/10.1166/asl.2018.12523
Abdullah, M. Amin. 2004. Falsafah Kalam di Era Postmodernism.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2004. Studi Agama Normativitas atau
Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: SUKA Press.
Abdullah, M. Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan IntegratifInterkoneksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Amin. 2014. Paradigma dan Implementasi Pendekatan
Integrasi Interkoneksi dalam Kajian Pendidikan Islam. Disampaikan dalam seminar
nasional Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 15 Oktober 2014.
Idris, S., & Tabrani ZA. (2017). Realitas Konsep
Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal
Bimbingan Konseling, 3(1), 96–113. https://doi.org/10.22373/je.v3i1.1420
Idris, S., Tabrani ZA, & Sulaiman, F. (2018). Critical
Education Paradigm in the Perspective of Islamic Education. Advanced Science
Letters, 24(11), 8226–8230. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12529
Patimah, S., & Tabrani ZA. (2018). Counting Methodology
on Educational Return Investment. Advanced Science Letters, 24(10),
7087–7089. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12414
Tabrani ZA, & Masbur. (2016). Islamic Perspectives on the
Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis
of the Classical and Modern Learning Theories). JURNAL EDUKASI: Jurnal
Bimbingan Konseling, 1(2), 99–112. Retrieved from
http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/cobaBK/article/view/600
Tabrani ZA, Idris, S., & Hayati. (2019). Islam dan Kuasa
Seksualitas Perempuan di Indonesia. Yin Yang: Jurnal Studi Islam, Gender Dan
Anak, 14(1), 17–32.
Tabrani ZA. (2009). Ilmu
Pendidikan Islam (antara Tradisional dan Modern). Kuala Lumpur:
Al-Jenderami Press.
Tabrani ZA. (2011a). Dynamics of
Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy,
17(2), 99–113.
Tabrani ZA. (2011b). Nalar Agama
dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik
Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395–410.
Tabrani ZA. (2012). Future Life of
Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2),
271–284.
Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi
Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi
Tarbawi, 1(1), 65-84.
Tabrani ZA. (2013b). Pengantar
Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent.
Tabrani ZA. (2014). Islamic
Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma
Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.
Tabrani ZA. (2015a). Arah Baru
Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tabrani ZA. (2015b). Persuit
Epistemology of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam).
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Warisno, A., & Tabrani ZA. (2018). The Local Wisdom and
Purpose of Tahlilan Tradition. Advanced Science Letters, 24(10),
7082–7086. https://doi.org/10.1166/asl.2018.12413