Soal Final MK PPMD Ganjil 2016-2017

SOAL FINAL MATAKULIAH
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DI DUNIA
SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2016/2017
Prodi                         : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Unit                          : Semua Unit
Fakultas/Univ.          : Fakultas Tarbiyah/ Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Dosen Pengasuh       : Tabrani. ZA, S. Pd.I., M.S.I., MA.

A.    Ketentuan
  1. Bacalah soal di bawah ini dengan baik dan benar. Selanjutnya buatlah jawaban anda dalam bentuk artikel ilmiah dengan mengacu kepada pertayaan-pertanyaan tersebut yang anda narasikan menurut anda masing-masing. Point pertanyaan akan menjadi sub-sub judul pada artikel anda.
  2. Setiap pendapat yang anda kemukakan pada jawaban anda harus mengacu dan mempunyai referensi (footnote) yang jelas. Minimal referensi yang anda gunakan adalah 3 (Tiga) buku.
  3. Buatlah judul artikel anda tersebut menurut anda sendiri (Judul Bebas).
  4. Anda dilarang mengcopy paste dengan cara apapun. Anda juga dilarang melihat punya teman anda. Jika terdapat jawaban anda yang sama persis dengan punya kawan anda, maka anda dianggap gugur dan dianggap tidak mengikuti Ujian Final (UAS).
  5. Kumpulkan tugas anda dalam bentuk hard copy pada hari final. Dan soft copynya anda kirim/ upload melalui form upload tugas di website: www.tabraniza.com paling lambat tanggal 3 Januari 2017 jam 23.59.
B.     Soal-Soal
  1. Sejarah pemikiran dan pembaharuan Islam di Indonesia memiliki dimensi yang sangat menarik, bahkan tidak pernah berhenti untuk dikaji, terutama oleh para peneliti dan pemerhati masalah sejarah dan pemikiran Islam. Kemukakan sedikit pendapat anda tentang sejarah pemikiran dan perkembangan Islam di Indonesia!
  2. Jelaskan bagaimana Perkembangan munculnya Islam Normatif dan Islam Historis!
  3. Jelaskan bagaimana aplikasi pendekatan Islam Tekstual dalam melihat realitas Islam Normatif serta aplikasi Islam Tradisional dalam melihat realitas Islam Historis!
  4. Jelaskan bagaimana relasi agama dan pembangunan dalam teologi pembebasan!
  5. Jelaskn bagaimana pandangan Marxisme terhadap Islam? Dan Bagaimana prinsip tasammuh (toleransi) bagi kelompok Marxisme!
  6. Bagaimanakah evolusi Rahman dalam perkembangan dan pembaharuan Islam menurut 4 (empat) prinsip dasar Islam (Al-Qur`an, Hadits, Ijma` dan Qiyas) !
  7. Jelaskan bagaimana pandangan Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh dalam pembaharuan pendidikan!
#Selamat Bekerja, semoga sukses selalu, amin ya Rabb#

Download Buku Tentang Islam_English Version

By: Tabrani. ZA

Di era yangmodern ini, kemajuan teknologi membuat segalanya menjadi mudah. Dunia pun seakan ada dalam genggaman kita. Dengan adanya teknologi, apa yang kita inginkan dengan mudah bisa kita dapatkan. Sebut saja salah satunya seperti internet. Dibalik kecanggihan akan internet serta euforia media sosial saat ini, membuat hampir semua kalangan melupakan sesuatu yang di jamannya menjadi sebuah tren sebelum internet menghipnotis penggunanya. Pasti banyak yang bertanya-tanya, apakah sesuatu yang dimaksud? Jawabannya tidak lain adalah “Buku”. Mengapa harus buku? Karena sebelum semua orang mengenal internet, buku di anggap sebagai jendela dunia. Lewat buku, banyak ilmu pengetahuan yang bisa kita dapatkan, kita bisa dengan bebas memperluas wawasan, bahkan beraneka kejutan dan hiburan pun bisa kita peroleh. Dengan adanya buku, kita dapat memahami kehidupan manusia dibelahan dunia lain, sekaligus dengan latar belakang sosial dan kultural mereka yang beragam. Bahkan bagi seorang penikmat buku, kecerdasan sosial, spiritual dan intelektual akan semakin terasah. Tidak jarang kita temui seseorang yang berubah kehidupannya karena terinspirasi oleh kata-kata yang terkandung dalam sebuah buku yang dibacanya.
Berikut ini kami sediakan beberapa buku tentang Islam yang dapat anda download dan anda baca. Buku yang kami sediakan pada halaman ini semuanya dalam bahasa Inggris. Semoga bermanfaat bagi kita semua, amiin...!!!

Silahkan klik tombol download untuk mendownload buku yang anda inginkan!!!
1. en_Brief Illustrated Guide to Understanding Islam
2. en_Concept of God in Major Religions
3. en_Discover the Islam
4. en_Enjoining Right & Forbidding Wrong By Ibn Taymiyya
5. en_In Pursuit of Allahs Pleasure
6. en_Islam in Focus
7. en_Islam is the Religion of Peace
8. en_Islam its Foundations and Concepts
9. en_Islamic Studies Book
10. en_Islamic Studies Orientalists and Muslim Scholars
11. en_Islam-The Religion You can no Longer Ignore
12. en_Political System in Saudi Arabia
13. en_Principles During Times of Fitan
14. en_Religious Freedom in Saudi Arabia
15. en_Religious Police in Sadi Arabia
16. en_The Evolution of Fiqh (Islamic Law & The Madh-habs)
17. en_The Principles of Islam
18. en_The Religion of Truth
19. en_The Signs Before the Day of Judegment
20. en_The Truth About the Original Sin
21. en_This is the Truth

Learning from Late Marx

By: Kohei Saito*

Recent years have seen the development of a fresh area of research into Marx’s critique of political economy, based on his previously unpublished economic manuscripts and notebooks, which have been made newly available in the updated edition of the complete works of Marx and Engels, the Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA).1 Lucia Pradella published the first detailed analysis in English of Marx’s London Notebooks, and Brill’s Historical Materialism book series recently celebrated its hundredth volume with a translation of Marx’s original manuscript for volume 3 of Capital, based on the new MEGA edition. The same series also published Heather Brown’s Marx on Gender, which drew extensively on his late notebooks.2 And earlier this year, the second, expanded edition of Kevin Anderson’s Marx at the Margins: On Nationalism, Ethnicity and Non-Western Societies appeared. The first edition of Anderson’s book, published in 2010, inaugurated this new trend in Marxist studies, and it remains among the most important achievements in the field.
The book’s title can be read in two ways: it not only addresses Marx’s analysis of marginalized (i.e., peripheral) societies under capitalism, but also the marginalized texts of Marx’s own work, such as his newspaper articles, the French edition of Capital, and, most importantly, his research notebooks. Six years on, this latter sense of “marginality” is gradually but surely changing, due in no small part to Anderson’s pioneering work. Due to his careful study of Marx’s marginal writings and notebooks, the book has opened both a new path for research and a strong tool to counter familiar criticisms of Marx’s “productivism” and “economic determinism.” Anderson and other scholars have persuasively shown that the depth and diversity of Marx’s critique of capitalism extended to such supposedly neglected areas as race, gender, and ecology.
In the second edition, Anderson finds the original task of the book fulfilled: to “undercut the fashionable argument that Marx was fundamentally a Eurocentric thinker trapped in the narrow frameworks of his time, the mid-nineteenth century, and thus largely impervious to contemporary issues like race, gender, and colonialism” (vii). Critics have long claimed that Marx’s theory assumed, with a mixture of optimism and condescension, that the development of productive forces in Western European countries would be the driving factor in a historical progress toward socialism, even if it produced misery and destruction in peripheral, colonized societies. Marx was the target of repeated criticism by postcolonial scholars such as Edward Said, who accused both Marx and orthodox Marxism of a naïve, orientalist affirmation of the “great civilizing influence of capital,” which effectively ignored the cruel reality of the colonized countries.
Anderson concedes that Marx, from the Communist Manifesto through his New York Daily Tribune articles on India in the early 1850s, was still trapped by the prevailing ethnocentrism of the time, and did believe uncritically in the progressive character of capitalist domination in the colonies (237). Thus it is not wrong to accuse Marx, in his earlier writings, of imposing a Eurocentric, unilinear vision of history on non-Western countries, though even these works include descriptions of British domination as “barbarism” (238).
However, as Anderson demonstrates, Marx’s critique of capitalism grew far more subtle and sophisticated as a result of his theoretical and practical engagement with the Taiping Rebellion, the Second Opium War, the Indian Rebellion, and the American abolitionist movement against slavery. The decisive change came in the late 1860s, when Marx voiced his unequivocal support for Irish independence. In an 1869 letter to Engels, he wrote: “The English working class will never accomplish anything before it has got rid of Ireland. The lever must be applied in Ireland. This is why the Irish question is so important for the social movement in general”.3 Marx not only argued that the English working class could not entrust the eventual emancipation of their Irish counterparts to the development and expansion of British capitalism; he maintained that English workers could not liberate themselves as long as they remained reluctant to take action against British colonialism. Instead of passively waiting for emancipation, Marx argued, the working classes of both England and Ireland had to take up the Irish cause as a central issue.
In the following years, Marx went on to study non-Western and pre-capitalist societies, efforts that are documented in his notebooks of 1879–82. In what is probably the book’s most original and important chapter, Anderson carefully examines these little-known notebooks, arguing for the later Marx’s nuanced, multilateral understanding of history. He marshals impressive evidence in this regard, uncovering the background to Marx’s famous admission—first in a letter to Vera Zasulich and later in the preface to the Russian edition of the Manifesto—that his analysis in Capital was “explicitly restricted to the countries of Western Europe.” Decades before the Bolshevik Revolution, Marx even recognized the possibility of a unique Russian path to socialism.

Social Change and Human Nature

By: Will Miller*
When radical social change is mentioned, apologists for present practice take a philosophical turn. In nearly every discussion of social alternatives to market capitalism, defenders of the marketplace appeal to their own conception of human nature as the final explanation of the predatory competitiveness of our age of waste and greed. We are quickly assured that the ever more unsatisfying and dangerous exploitation of our natural and social environment is an inevitable consequence of our human nature.
According to the market view of human nature, we are—and have always been—greedy, grasping creatures, entirely absorbed in ourselves, manipulating others as means to our own private ends. All human ties of love, affection and social unity are really manipulative appearances that conceal the sheer private opportunism that actually motivates us. We are all bottomless pits of insatiable desires, so no amount of consuming, owning or controlling is ever enough. These traits of individualism are cast as universal human nature, making market capitalism inevitable and radical social change impossible. Occasionally, defenders of market capitalism seem slightly saddened by their own view of human nature. But more often they cannot disguise their pleasure at the dismay they provoke in gentler folk.
It is not without reason that economics has come to be known as the dismal science. Mainstream economists since Adam Smith have assumed that all human relations are ultimately those of the marketplace, of buying and selling, of control and exploitation of the suffering, vulnerability and desperation of others. The current dominance of private property relations—where land, resources and tools are exclusively controlled by a small minority of individuals for their private perpetual reward—is projected backward over the whole span of human history. However useful this projection may be for justifying existing market society, it is strikingly poor anthropology, dubious history, and third-rate psychology.
But it seems actual human history has had a much different bent. For our first few hundred thousand years on this planet—according to current evidence—humans lived in small groups organized around mutually beneficial social relations, with resources held in common as social property. Social equality and voluntary divisions of labor endured for millennia as the basis for human communal life. With essentially social incentives, everyone who could contributed to the commonwealth for the use of all. In the long sweep of this history the emergence of dominant classes—chiefs, kings, aristocracies of birth and wealth—is a very recent event, perhaps no more than 10,000 years ago, or less, depending on which culture is considered. From time to time, small human communities organized in such communal ways continue to be ‘discovered,’ communities that have been spared being “civilized” by conquest at the hands of more “advanced” class societies.
A common pattern for the development of class societies, where a dominant class holds the power to exploit the labor and lives of subordinate class members, begins with the emergence of wealth as social, and communally produced surplus beyond subsistence. Often the first storable surpluses came with settlement agriculture and the emergence of production organizers, who coordinated the complexities of agriculture as a new means of production. Seizure of this social surplus provided the means for the emergence of a dominant class. The surplus provides the material means for creating a “palace guard” to enforce the relations of domination, on behalf of those who seek to institutionalize their private ownership of that stolen social surplus.
This is the pattern of the earliest coup d’ etat, out of which the state and class society is institutionalized. Accompanied as it often was by male-supremacist divisions of labor, the social opportunities for free and cooperative association were shattered by a succession of forms of domination from slavery and serfdom to “free” wage labor. The most recent installment in this historical process, market capitalism, is only 500 years old in Europe and much newer elsewhere. Capitalism in Europe succeeded in wresting control from the patchwork of feudal estates and their lords. The modern capitalist nation-state was the outcome of this struggle to lay the foundations for market relations of buying, selling and owning to become the primary determinants of human life. The new system’s need for primitive capital accumulation led to the conquest and colonization of most of the rest of the world over the last five centuries.

Pages: 1 2 3

Antara Politik dan Pendidikan (2)

By: Tabrani. ZA

Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah satu alasan mengapa suatu negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak Negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis/ administratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi. Kandungan (content) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.
Ketika doktrin-doktrin para penguasa negara berseberangan dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dalam masyarakat, maka institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesama perangkat sekolah itu sendiri maupun antara perangkat sekolah dengan peserta didik. Ketika para anggota perangkat sekolah dan peserta didik merambah ke luar lingkungan sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik sosial politik.
Persoalan ini memunculkan pertanyaan sebagai berikut, Apakah masih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of education? Apakah kontrol Negara terhadap sekolah dapat dihilangkan? Apakah suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme kontrol? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep kita tentang sekolah dan Negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah bagaimana memformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan sistem pendidikan tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat pencerahan masyarakat.

Prospek Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Namun, pengalaman panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan kependidikan yang ada. Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan berkembang pesat.

Problem Metodologi Penelitian Politik Pendidikan
Proses kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian, baik di kalangan ilmuwan politik maupun ilmuwan pendidikan telah melalui pergumulan metodologis yang panjang dan penuh perdebatan. Di satu pihak, para penggagas bidang kajian ini dengan penuh gairah menjelaskan bahwa kajian politik pendidikan adalah kajian yang penting dilakukan, baik oleh para ilmuwan politik maupun para ilmuwan pendidikan.
Namun, tanpa penjelasan dan metodologis yang jelas ternyata sulit untuk bisa diminati. Hingga awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memiliki basis metodologi yang mantap, walaupun pada saat ini penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah cukup berkembang. Kelemahan metodologis tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan keterbatasan metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang menjadi induknya.

Pages: 1 2

Antara Politik dan Pendidikan (1)

By: Tabrani. ZA
Pendidikan dan politik merupakan dua elemen yang penting dalam sistem sosial politik suatu Negara, baik Negara maju maupun berkembang. Pada umumnya kedua elemen ini selalu dipisahkan, sehingga seakan-akan tidak berhubungan satu dengan lain. Padahal keduanya sangatlah berkaitan. Bila tidak ada pendidikan tidak akan ada orang-orang yang mampu menjalankan dan mengelola dunia pemerintahan ataupun dunia politik, dan sebaliknya jika tidak ada politik, pendidikan tidak akan mampu berjalan karena kekurangan aspek-aspek pendukung seperti sarana dan prasana pendidikan yang disebabkan tidak adanya pengelola uang Negara maupun kebijakan-kebijakan yang mendukung terselenggaranya proses pendidikan.
Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di Negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan Peradaban manusia dan menjadi perhatian para Ilmuwan.
Hubungan erat antara pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompeten dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan. Akan tetapi jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.
Terlepas dari itu semua, Jika kita melihat realitas politik di Indonesia saat ini, maka hendaknya pendidikan dijadikan satu hal yang netral, khususnya jika kita melihat kondisi politik di Indonesia saat ini. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan lembaga pendidikan sebagai penyalur dari kepentingan politik tertentu. Selain itu, jika pendidikan tidak dinetralisir dari dunia politik, maka kepentingan politik akan dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan. Dan ini akan memecahkan konsentrasi lembaga terhadap pendidikan, yang pada akhirnya akan merusak nilai-nilai mulia pendidikan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) Education and politics are inextricably linked (Pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka(1965: 289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the polical role of the intelligentsia).
Meskipun hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilakukan untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik penguasa.
Namun, apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik, keduanya akan terus saling terkait. Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan keterampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja, dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karena keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi.

Pages: 1 2

Pendidikan dan Interaksi Sosial

BY: Tabrani. ZA
Pendidikan berfungsi memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan serta membangun kebudayaan dan peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh  karena itu, pendidikan memiliki fungsi kembar (Budhisantoso, 1992;  Pelly, 1992). Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan ke-budayaan.
Berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. Masalah lainnya adalah gagalnya sektor dalam menanamkan serta menumbuhkembangkan  pendidikan nilai di sekolah. Hal ini terbukti dari berbagai permasalahan seperti rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir bandang, kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air, dan terakhir luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sudah dua tahun, sampai hari ini belum juga dapat diatasi. Semua permasalahan ini hanya menghasilkan dan menyisakan kesengsaraan rakyat Indonesia. Adimassana (2000) menambahkan bahwa salah satu penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Zamroni (2000:1) menge-mukakan bahwa pendidikan cenderung hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada peserta didik, apa yang disebut sebagai dead knowled, yaitu pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar sumbernya dan aplikasinya. Lebih lanjut Suastra (2005) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh dengan nilai-nilai kearifan (local genius) diabaikan dalam pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, pembelajaran menjadi ”kering” dan kurang bermakna bagi siswa. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian serius bagi para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan di daerah.
Penentuan metode mengajar yang akan digunakan seharusnya selalu diawali dari situasi nyata di dalam kelas. Bila situasi di dalam kelas berubah maka metode mengajar pun juga harus berubah. Karena itulah seorang guru sebagai ”pengendali” kegiatan belajar mengajar di dalam kelas harus menguasai dan tahu kelebihan dan kekurangan beberapa macam teknik pembelajaran dengan baik, sehingga guru mampu memilih dan menerapkan teknik pembelajaran yang paling efektif untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Perubahan situasi dan tujuan pembelajaran di dalam kelas memerlukan kepekaan guru, artinya seorang guru harus mampu mendiagnosis masalah yang muncul dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Selain itu guru juga dituntut mampu menganalisis dan mendeskripsikan akar penyebab dari masalah serta mampu memilih pendekatan yang paling tepat untuk digunakan memecahkan masalah tersebut.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan perbaikan kualitas pembelajaran juga harus berangkat dari permasalahan pembelajaran nyata di dalam kelas, tidak hanya ‘melulu’ berangkat dari kajian yang bersifat teoritis akademis tanpa mempertimbangkan permasalahan pembelajaran nyata di dalam kelas, karena bisa jadi permasalahan pembelajaran di dalam kelas satu dengan kelas lainnya berbeda walaupun dalam satu sekolah yang sama. Penelitian yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran yang tidak diawali dari permasalahan pembelajaran real yang dihadapi oleh guru dan siswa di dalam kelas, menyebabkan temuannya tidak aplicable dalam kancah nyata.
Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, di antaranya PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Kedua perangkat hukum tersebut mengamanatkan agar kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) adalah bentuk alternatif otonomi pendidikan sebagai wujud reformasi pendidikan di mana sekolah diberikan peluang yang sangat luas dalam mengelola sekolah serta mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di daerah dan para guru dalam rangka mengembangkan potensi lokal dan sekaligus melestarikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam budaya bangsa kita.
Pembelajaran yang akan datang perlu diupayakan agar ada keseimbangan/ke-harmonisan  antara pengetahuan sains itu sendiri dengan penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu,  lingkungan sosial-budaya siswa perlu mendapat perhatian serius  dalam mengembangkan pendidikan sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini yang menekankan pentingnya pendidikan bagi upaya meningkatkan tanggung jawab sosial. Berdasarkan usaha reformasi ini, tujuan pendidikan tidaklah hanya untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi saja, tetapi yang lebih penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri. Bagaimana manusia membuat pemahaman tentang dunia alamnya dan bagaimana mereka berinteraksi dengan keseluruhan tatanan makrokosmos sangat  ditentukan oleh pandangan mereka tentang dunia dan nilai-nilai universal.{Ђ}

Kesadaran Masyarakat sebagai Manifestasi Kesalehan Sosial

By: Tabrani. ZA

Secara ideal, eksistensi manusia di muka bumi ini bukan hanya dapat mengejar kesalehan individual, melainkan juga harus mampu menggapai kesalehan sosial. Salah satu wujud kesalehan sosial itu adalah kedermawanan yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan budaya. Dalam ajaran Islam misalnya, banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai keharusan membantu atau berbagi pada orang lain (distributive justice). Dalam Surah Al-Maidah (5) 2 disebutkan bahwa orang harus tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan (ta’awanu ‘alal birri wat taqwa). Nabi bersabda “seluruh mahluk ini adalah hamba Allah, sedangkan yang tercinta di sisi-Nya ialah mereka yang paling memberikan manfaat kepada sesama hamba-Nya.” 
Sebaliknya, sikap manusia yang tidak menunjukkan kesalehan sosial adalah sikap anti sosial. Sikap anti sosial seperti yang dilukiskan Thomas Hobbes adalah sikap manusia yang hanya memuaskan kepentingannya sendiri atau sikap manusia yang memaksimalisasi pemenuhan keinginan-keinginan untuk kesejahteraan individualnya. Manusia dalam pandangan Hobbes adalah sebagai mesin anti sosial. Tentu saja sikap anti sosial seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya. 
Ethnic philanthropy atau cultural philanthropy adalah potensi kedermawanan yang berbasiskan nilai-nilai budaya atau tradisi etnik tertentu. Dalam konteks tradisi budaya daerah di Indonesia, ada beberapa contoh yang bisa dikemukakan di sini. Warga Minang misalnya, mengenal tradisi julo-julo. Di Kalimantan, ada tradisi “kamar kapala” dan “adat persaudaraan”. Masyarakat Jawa masih melakukan tradisi jimpitan atau sinoman, masyarakat tatar Sunda juga memiliki budaya serupa yang disebut beas perelek. 
Namun, sayangnya tradisi budaya yang dulu dipegang teguh para pendahulu kita, kini telah punah. Padahal tradisi budaya semacam itu semestinya dapat dipertahankan, bahkan diperluas aspek gerakan sosialnya (social movement) dan ditingkatkan segi pengelolaannya (management) serta diwariskan/ditularkan (transmitted) kepada generasi muda sekarang.
Untuk merevitalisasi semangat ethnic philanthropy yang kini sudah mulai memudar, agar dapat tumbuh kembali, beberapa hal yang harus dilakukan adalah: pertama, perlu dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah Jawa Barat, terutama dalam memfasilitasi gerakan yang bernuansa ethnic philanthropy tersebut. Kedua, memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya gerakan yang bernuansa ethnic philanthropy. Ethnic philanthropy adalah sebagai wahana pemberian bantuan kemanusiaan yang harus dijaga kontinuitasnya, atau merupakan “ladang amal” (meminjam istilah Aa Gym) bagi kita. Ketiga, menjadikan sili asah, sili asih, dan sili asuh bukan hanya sekadar semboyan belaka, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, penguatan atau penegakan institusi lokal (locality institutional enforcement), khususnya pada tingkat desa/kelurahan, agar betul-betul menjadi tiang-tiang pengikat bagi segenap warga masyarakat.
Semangat ethnic philanthropy semakin penting ditumbuhkan kembali, berkaitan dengan beban yang harus ditanggung masyarakat demikian berat. Masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa Barat dewasa ini semakin kompleks. Kemiskinan, busung lapar, kurang gizi (malnutrisi), mahalnya biaya sekolah, anak putus sekolah, anak terlantar, penyakit folio, tingginya angka kematian bayi, wabah diare akibat lingkungan pemukiman yang buruk, dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang atau kebutuhan pokok adalah sederetan masalah yang menerpa masyarakat kita.
Dalam menanggulangi beban penderitaan yang dihadapi masyarakat tersebut, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : pertama, mematikan egoisme. Matinya egoisme berarti bangkitnya solidaritas. Solidaritas yang tulus tanpa tekanan. Solidaritas yang sudah tumbuh senantiasa dipelihara agar kian mengakar dalam hati masyarakat kita. Kedua, mematikan keserakahan. Keserakahan adalah keinginan diri untuk memiliki sesuatu melebihi kapasitas yang seharusnya. Kita harus mematikan keserakahan itu. Kematian keserakahan berarti bangkit dan tumbuhnya kesadaran untuk berbagi. Saya tidak mau memiliki sendiri, saya ingin membaginya pada orang lain. Ketiga, mematikan arogansi. Ketika mempunyai kekuasaan, orang cenderung menjadi arogan. Tidak hanya mereka yang memiliki kekuasaan, tapi juga mereka yang mempunyai banyak uang. Dengan uang yang dimiliki, mereka bisa berbuat apa saja. Mereka bisa menggunakan kekuasaan dan uang untuk menindas orang lain. Bahkan tidak jarang, kekuasaan dan uang digunakan untuk membinasakan orang lain. Arogansi sudah saatnya mati. Kini pelayanan kemanusiaan yang harus segera dikembangkan.
Sikap mementingkan diri sendiri, arogansi, dan keserakahan sudah saatnya ditinggalkan. Sebaliknya, rasa kasih sayang sesama, kedamaian, kelembutan, kemurahan hati, saling membantu, kepedulian sosial, solidaritas sosial, kesetiakawanan sosial, dan kedermawanan perlu dihidupkan.{Ђ}

Demokrasi dan Pluralisme Politik

By: Tabrani. ZA
Keberadaan kekuasaan negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan secara langsung dengan kekuasaan rakyat.  Penyaluran kekuasaan rakyat dari berbagai jalur pada akhirnya bermuara pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik dan non partai politik. Hierarki nilai demokrasi pada puncak tertinggi adalah pluralisme politik. Menurut Ronald H Chilcote (ahli perbandingan politik), bahwa dalam pluralisme politik, nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Inti dari teori ini merujuk pada konsep dasar demokrasi di mana rakyat dengan berbagai kelompok dan beragam kepentingannya diperkenankan untuk menguasai negara melalui berbagai jalur kekuasaan yang telah dibentuk dan dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan yang telah membentuk kekuatan negara pada prinsipnya paralel dengan jalur kekuasaan yang dimiliki rakyat.
Pluralisme politik adalah ruang demokrasi yang mampu membuka sumbatan-sumbatan agar kekuasaan dari berbagai kelompok rakyat dapat mengalir dengan bebas menuju penguasaan rakyat terhadap negara. Demokrasi telah menjamin bahwa pluralisme politik dalam sebuah negara tidak akan melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada golongan tertentu (seperti pada masa orde lama dan orde baru Indonesia). Tidak boleh ada niat apa lagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi kelompok rakyat yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan negara, baik kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan negara di daerah (pemda). Dalam dimensi pluralisme politik, seluruh rakyat melalui berbagai jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi  jalan untuk mengendalikan kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan. Melalui jalan tersebut rakyat dapat mengirim orang-orang yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif.
Hari ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol. Di samping rakyat parpol, rakyat non parpol  bisa masuk parlemen sebagai anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota melalui jalur independen. Kedua kelompok rakyat ini telah diberi hak yang sama oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan.
Perwakilan kekuasaan rakyat di negara kita disebar (di distribusi) ke dalam dua lembaga; legislatif dan eksekutif. Kekuatan kedua lembaga ini begitu besar karena mereka tergabung bersama dalam membuat berbagai keputusan negara/undang-undang untuk dijalankan oleh eksekutif; artinya dibahas bersama, diputuskan bersama, baru kemudian dijalankan oleh eksekutif. Sistem distribution of power  yang dianut di Indonesia telah membangun fungsi legislatif dan eksekutif sebagai Pemerintah bersama bukan sebagai musuh bebuyutan yang saling ingin menjatuhkan. Jika pun semangat ingin “berkonflik” ini mau diteruskan, maka rubah dulu UUD 45 yang mengatur sistem politik Indonesia dengan pola pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi  pola pemisahan kekuasaan dari ketiga lembaga tersebut.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep separation of power (pemisahan kekuasaan) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, seperti di Eropa dan Amerika, ada ketegasan fungsi tugas yang jelas pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi legislatif sebagai pembuat kebijakan, dan eksekutif sebagai eksekutor (pelaksana kebijakan).  Sistem politik Indonesia dengan pola distribusi kekuasaan telah membangun hubungan rumit antara legislatif dan eksekutif. Mengutip pendapat guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin yang menyatakan bahwa sistem politik Indonesia adalah “banci”; maksudnya sistem politik negara kita tidak jelas, diumpamakan bukan sebagai  laki-laki dan juga bukan sebagai perempuan.
Akibat dari sistem “banci” ini maka kedua lembaga ini di Indonesia tidak pernah berdiri kokoh dalam menjalankan fungsinya. Hubungan kedua lembaga ini menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan konsep pluralisme politik di mana nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk hubungan “rumit” antara legislatif dan eksekutif yang dipertontonkan oleh para elit politik parlemen dan elit politik eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dalam membahas anggaran misalnya, yang terlihat dominan adalah hubungan negatif (kolaborasi kepentingan) dan hubungan konflik (saling memaksa mempertahankan kepentingan).

Pages: 1 2

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus

Oleh: Dr. Haryatmoko
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?

Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Pages: 1 2