Oleh: Tabrani ZA
Disertasi yang diajukan Abdul Aziz dengan judul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” yang diujikan pada 28 Agustus 2019 lalu di UIN Sunan Kalijaga, dengan membedah pemikiran cendekiawan asal Suriah, Muhammad Syahrur, Abdul akhirnya dinyatakan lulus dengan beberapa catatan dari penguji.
Akan tetapi ada sedikit harus dijelaskan bahwa pandangan Syahrur terhadap Milk-al Yamin tersebut cukup problematik. Problemnya terletak pada subjektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi wawasannya tentang tradisi kultur dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain, sehingga memaksa ayat alquran agar sesuai dengan pandangannya. Alhasil ayat-ayat tentang Milk al-Yamin yang dahulu ditafsirkan sebagai budak dipahami Syahrur dengan setiap orang yang diikat kontrak hubungan seksual. Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfaatkan tuannya untuk berhubungan seksual, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks apapun bentuknya, marital atupun non marital, halal.
Penafsiran Syahrur tersebut dianggap terlalu subyektif, sehingga mengesampingkan makna obyektif dalam ayat alquran. Analogi budak dan orang yang diikat kontrak terlalu simplisistik karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas. Padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat soal Milk al-Yamin, yakni martabat kemanusiaan yang oleh ayat alquran sangat dijunjung tinggi.
Satu hal yang dilupakan oleh Abdul Aziz bahwa posisi Syahrur sejalan dengan pendapat yang menolak sinonimitas karena ia menggabungkan teori sinkronik Ibnu Jinni dan teori diakronik al-Jurjani, karena keduanya saling melengkapi dan terkait dengan sejarah kata-kata. Jika mengakui sinonim berarti ia mengingkari sejarah kata-kata karena setiap kata mempunyai makna sesuai konteks penggunaannya yang terus berkembang. Penafian sinonimitas berimplikasi terhadap redefinisi terma-terma yang dianggap sinonim seperti al-kitab, Alquran, furqan inzal dan tanzil, dan imam mubin dan kitab mubin, ummul kitab dan lauh al-mahfudz, qada' dan qadar, zaman dan waqt, mu'min dan muslim, uluhiyah dan rububiyyah, manna dan salwa, konstruk rukun Islam, iman, dan nama-nama Alquran yang selama ini disinonimkan.
Dari penggunaan analisis syntagmatic bagi Abdul Aziz selaku pengkaji Syahrur sepertinya belum selesai membaca karyanya Syahrul. Karena Syahrul sendiri mengkonstruk tidak hanya kandungan Alquran tetapi juga meredefinisi terma yang selama ini disinonimkan dengan nama Alquran, maka siapa saja yang membaca karya syahrul jelas akan menangkap ketidakonsistenan Syahrur, karena jika ditilik pada pandangannya tentang konsep al-Dzikr, al-inzal dan al-tanzil dimana disatu sisi al-Dzikr merupakan proses perubahan kepada bahasa manusia yang cenderung terjadi desakralisasi terhadap teks, namun di sisi lain dengan analisis syntagmatic ini dengan sendirinya Syahrul mementalkan teorinya sendiri terhadap transformasi bahasa tersebut.
Dengan tidak berusaha menghakimi ataupun membela, sebenarnya Disertasi Abdul Azis tersebut mendiskusikan tentang konsep metodologi hermeneutika yang diusung Syahrur dalam memahami konsep Milk Al-Yamin dalam Alquran. Kecenderungan hermeneutika yang ditawarkan, konsistensi atau inkonsistensinya mengaplikasikan teori pembacaan kontemporernya. Pertama, ia mencoba mengkaji Alquran dengan dekonstruksi atau rekonstruksi dengan mendobrak produk pemikiran yang selama ini dianggap “mapan” dan “sakral” tidak hanya pada tataran metodologi melainkan juga pilar-pilar akidah. Kedua, ia mengatakan bahasa Alquran tetap tauqifi walau dalam kandungannya ia interpretable. Ketiga, kontekstualisasi ada pada teks itu sendiri melalui struktur linguistiknya. Keempat, teori linguistik yang di anut oleh Syahrul dari gurunya yang berakar pada pandangan Ibnu Jinni bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa, dan karenanya ia membedakan terma yang selama ini disinonimkan dengan Alquran dan ini yang terlupakan oleh Abdul Aziz. Kelima, karena pemikiran syahrul yang sangat rasional dan cenderung dipengaruhi empirisisme, sehingga Abdul Aziz sepertinya terjebak oleh pemahaman yang sangat tergantung pada rasio dan dunia empirik, padahal Alquran memiliki sisi-sisi transenden yang tidak semuanya terwujud dalam dunia nyata.
Selanjutnya, dalam kontek keindonesiaan dan keislaman, mari kita melihat kasus Abdul Azis ini secara akademik, karena karya yang dihasilkan tersebut adalah sebuah kajian akademik. Dalam melihat kasus tersebut setidaknya ada 2 (dua) catatan penting dalam kita melihat fenomena ini. Pertama, meminjam perspektif filsafat yang mensistematisasi pada 3 (tiga) hal, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam konteks filsafat itu, ontologi itu membahas bagaimana hakikat sebuah obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan, sedangkan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam kerangka ini, Abdul Aziz cenderung berorientasi ingin meraup pada ketiga hal itu, sehingga ia menghadapi kendala yang sangat serius. Ketika sebuah temuan dengan mengangkat teori Syahrur bahwa Milk al-Yamin itu hubungan seksual nonmarital maka jika berhenti pada tingkat epistemologi itu merupakan sebuah keabsahan. Artinya, temuan dari sebuah hasil kajian itu memiliki keabsahan jika memang dilakukan dengan metodologi dan kerangka berpikir ilmiah. Apalagi, ini adalah sebuah hasil kajian semata, bukan sebuah fatwa yang mengikat. Akan tetapi, kerangka epistemologi jika akan diimplementasikan pada tingkat aksiologi maka tentu ia akan berhadapan dengan nilai. Di sinilah problem mendasar dari disertasi Abdul Aziz itu hingga menimbulkan kontroversi yang demikian besar. Bahkan, dengan keyakinannya, Abdul Aziz menyatakan bahwa temuan disertasinya ini akan mampu meredam praktek-praktek kriminalisasi pezina, yang itu sesungguhnya telah memasuki klaim aksiologis. Tentu, temuannya itu akan berhadapan dengan nilai dan norma yang selama ini telah dibangun oleh masyarakat, sehingga kita bisa memafhumi jika kemudian respons publik menolak keras atas temuan ini. Karena, itu telah memasuki ruang aksiologis.
Kedua, fenomena disertasi Abdul Aziz ini semakin memperjelas betapa batas demarkasi antara validitas akademik dengan validitas sosial itu demikian jelas. Sesuatu yang valid secara akademik belum tentu valid secara sosial. Demikian juga, valid secara sosial belum tentu valid secara akademik. Kebenaran-kebenaran ilmiah belum tentu dapat diterapkan bahkan akan produktif secara praktis di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya temuan Abdul Aziz dan temuan-temuan akademik lainnya. Termasuk juga, dalam temuan para saintis berupa teknologi cloning, itu absah secara akademis namun tidak patut secara sosial jika digunakan untuk meng-cloning manusia. Demikian juga, praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat juga belum tentu memiliki justifikasi secara akademik, seperti fenomena politisasi agama, menempatkan posisi perempuan sebagai kelas kedua, dan lain-lain. Kedua kevalidan itu sebaiknya perlu dilakukan dialog dan kedewasaan bersikap secara produktif sehingga akan menemukan titik temunya yang pas. Demikian.