Historisitas: Sebuah Upaya Menghadapi Progresivitas Kehidupan

By: Tabrani. ZA
Sejak awal turunnya, Islam bukanlah agama yang diturunkan dalam ruang hampa. Ia diturunkan di wilayah yang sarat budaya, Arab. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Islam juga senantiasa terlibat langsung pada pergumulan; selalu berdialog dengan dinamika kehidupan masyarakatnya. Karenanya dalam sejarah tradisi pemikiran Islam selalu diwarnai oleh berbagai usaha pembaruan (reneval) dan penyegaran (refreshment) secara terus menerus. Hal ini karena persoalan ruang (space) dan waktu (time) hingga muncul keragaman kognisi, aktualisasi dan praksis sosial adalah sebagai konsekuensi ketika Islam telah mengalami proses dialogis dengan masyarakat yang menjadi settingnya.
Logika dan pemahaman agama, menurut Amin Abdullah, memerlukan sebuah continuous process untuk menjawab realitas perkembangan sejarah yang berbeda-beda agar nilai-nilai agama dapat mendorong perkembangan proses dan memperkaya konsep pembentukan peradaban manusia. Hal ini menyebabkan perkembangan dan ekspresi keberagamaan pada masyarakat bersifat plural dan distingtif yang berbeda satu sama lain. Dalam artian ketika Islam normatif memasuki wilayah konteks sosio historis/kesejarahan manusia, maka satu dan lainnya beragam ekspresinya. Maka tidak mengherankan jika wajah Islam di Timur Tengah tentu saja akan beda dengan wajah Islam Indonesia, dan juga karakteristik Islam abad pertengahan tentu juga beda dengan abad kemodernan.

BACA SELENGKAPNYA DI SINI

Normativitas: Sebuah Upaya Menjaga Autensitas

By: Tabrani. ZA
Islam telah dibakukan secara sempurna, sehingga autensitasnya terus terjamin ditengah progresivitas ruang dan waktu. Pembakuan ini meliputi; 1). mendokumentasikan secara autentik sumber norma tertinggi, al-Qur’an; 2). memberikan penjelasan operasionalnya dalam kehidupan, 3). memberikan cara untuk mengembangkan norma Islam secara terpadu dalam kehidupan sepanjang sejarah manusia melalui proses ijtihad. Dengan langkah inilah Islam akan tetap otentik, plus dinamis dalam mengarungi sejarah kehidupan. Kedua langkah pertama diperlukan untuk menjaga autensitas Islam, sementara alangkah ketiga diperlukan agar Islam terus berjalan, tumbuh dan berkembang dinamis searah perkembangan kemanusiaan (Muhaimin, 2012:77-78).
Keberagamaan Islam mengandung aspek normativitas wahyu dan historisitas manusia. Namun kajian Islam ortodoks baik fiqih, teologi, tafsir, dan tasawuh hanya menggunakan pendekatan normativitas dan tanpa melibatkan pendekatan dan wawasan historisitas yang melihat gejala keagamaan karena dikhawatirkan menggeser dimensi normativitas yang sering dipegang oleh pemegang ajaran ortodoks sebagai mainstream pemikiran keagamaan. Kekhawatirannya terletak pada Islam akan ternoda dan terdesakralisasi oleh perilaku historis manusia sehingga dapat mengurangi keterikatan manusia dengan Islam. Namun kekhawatiran ini justru membuktikan overlapping, tumpang tindih, dan jumbuhnya antara normativitas dan historisitas, padahal walaupun keduanya tidak berbeda tetapi sangat mampu untuk dibedakan. Karena itu kajian Islam cenderung menjauhkan diri dari sikap ilmiah yang intelek, kritis dan obyektif, namun justru lekat dengan apologi yang subyektif berdasarkan pendekatan skripturalis/tekstual (Abdullah, 2003:23-24). Supaya Islam tetap pada asasnya yang autentik dan konsisten, maka al-Qur’an dan sunnah dijabarkan ke dalam ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih dan lainnya.  

BACA SELENGKAPNYA DI SINI