Sistem Pendidikan di Indonesia: Antara Solusi dan Ilusi

By: Tabrani. ZA

Masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya dan kemampuan peserta didiknya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dapat kita wujudkan melalui pendidikan dalam keluarga, pendidikan masyarakat maupun pendidikan sekolah.
Indonesia merupakan negara yang mutu pendidikannya masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan sesama anggota negara ASEAN pun kualitas SDM bangsa Indonesia masuk dalam peringkat yang paling rendah. Hal ini terjadi karena pendidikan di Indonesia belum dapat berfungsi secara maksimal. Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional. Namun, sistem pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik. Maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Pendidikan Sekuler bagian dari Kehidupan Sekuler

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekularistik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Ilusi Dunia Pendidikan
Untuk menerapkan sistem pendidikan yang baik dan mencerahkan bagi siswa, para guru, orang tua dan masyarakat, tak perlu jauh-jauh berguru pada Paolo Friere dengan sistem pendidikan pembebasannya atau Rabindranat Tagore dengan Santiniketannya, apalagi dengan meliberalkan sistem pendidikan, cukup dengan menghilang perangkap “ilusi-nya” bahwa pemerintah, orang tua dan guru yang lebih tahu apa yang terbaik bagi siswa. Nilai-nilai apa yang pantas dan benar ditanamkan di benak para siswa yang kita pandang hanya kelinci-kelinci percobaan, atau tanah liat yang bisa kita bentuk seenanknya dan semaunya dengan tanpa melihat pada kekhususan-kekhususan dan anaeka potensi, kreativitas, serta kemampuan yang berbeda dari tiap-tiap siswa.
Dewasa ini banyak orang yang menghabiskan waktunya secara spartan di lembaga-lembaga pendidikan lalu merasa tidak mendapat apa-apa dan menjadi apa-apa, Kendati telah meraih serenceng gelar yang berderet di belakang namanya. Faktanya memang banyak orang-orang pintar jebolan sekolahan yang merasa frustasi, tersesat dan akhirnya jadi koruptor. Belum lagi bicara yang putus sekolah atau DO dari kampus lalu kemudian mengisi daftar panjang para penganggur dan pemakai obat-obatan, serta peserta tawuran antar kampus atau sekolah.
Walau banyak juga para alumni yang sukses dan telah berada di jalan yang benar, tapi secara umum, pendidikan sekarang perlu dijiwai dengan semangat baru, mungkin itulah sebabnya pemerintah bersikeras mengimplementasikan kurikulum baru 2013, dengan visi dan misi yang lebih menekankan pada pendidikan karakter siswa, meski masih kontroversi.
Kebanyakan para siswa telah melewatkan waktunya di sekolah bertahun-tahun untuk tidak mendapat arti dan nilai hidup manusia dengan pertolongan orang lain yang telah mengungkapkan pengalaman mereka lewat pelajaran-pelajaran dan tulisan-tulisan mereka, tetapi kebanyakan mereka hanya sibuk berusaha mengumpulkan kredit, naik kelas, lalu mendapat ijazah dan dengan demikian mengorbankan perkembangan diri pribadi mereka sendiri.
Dalam suasana seperti itu, tidak mengherankan bahwa orang menjadi semakin enggan untuk belajar karena perkembangan mental dan emosional yang sesungguhnya telah dihalang-halangi oleh situasi pendidikan, di mana murid menganggap guru lebih sebagai tuan yang selalu menuntut, bukan sebagai pembimbing yang menemani mereka dalam mencari pengetahuan dan pengertian.
Salah satu dari persoalan-persoalan yang paling besar dalam pendidikan ialah diberikannya pemecahan masalah, sedangkan masalah itu sendiri sebetulnya tidak ada. Agaknya sumber pendidikan dan pemberian informasi yang paling sedikit digunakan ialah pengalaman murid sendiri. Kadang-kadang guru berbicara mengenai kasih dan benci, takut dan kegembiraan, harapan dan keputusasaan sementara murid mencatat atau melihat keluar jendela karena bosan. Juga tak paham, karena sejatinya apa yang didengarkan bukan pengalaman merek sendiri tentang hal-hal tersebut di atas. Dengan sendirinya persoalan-persoalan yang muncul di sana takkan pernah dapat tertangani apalagi tersolusikan kelak.
Mereka biasanya terima saja karena tak ingin tampak ringkih dan bodoh. Tak ada yang berani mengingatkan pada teman-teman dan guru bahwa masih ada beberapa soal yang sangat penting dalam kehidupan yang belum disentuh. Mereka merasa lebih aman dengan diam saja tanpa protes pada yang membuat mereka mengantuk, demi menghindar dari cap murid yang tak patuh dan santun.
Maka mengajar, pertama-tama menuntut diciptakannya suatu ruang di mana murid atau guru dapat masuk dalam suatu relasi yang tidak diwarnai rasa takut dan menjadikan pengalaman hidup mereka masing-masing sebagai sumber utama dan paling bernilai bagi perkembangan dan pendewasaan pribadi. Untuk itu dituntut rasa “saling percaya” Di sana mereka yang mengajar dan mereka yang ingin belajar dapat saling hadir satu bagi yang lain, tidak sebagai pihak-pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai pribadi-pribadi yang berjuang bersama dan mencari kebenaran yang sama pula.
Jadi pendidikan mengimplemantasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian pengetahuan (ta’lim), tetapi pelatih, pembangkit seluruh potensi diri siswa (tarbiyah). Jadi guru bukan sekedar seorang mu’alim atau penyampai pengetahuan, tetapi juga sekaligus murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian sekaligus pendamping atau teman seperjalanan siswa.

Solusi Fundamental

Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekularistik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekularistik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Solusi pada Tataran Paradigmatik

Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya).

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. 
Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusi sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen.{Ђ}