Demokrasi dan Pluralisme Politik

By: Tabrani. ZA
Keberadaan kekuasaan negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan secara langsung dengan kekuasaan rakyat.  Penyaluran kekuasaan rakyat dari berbagai jalur pada akhirnya bermuara pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik dan non partai politik. Hierarki nilai demokrasi pada puncak tertinggi adalah pluralisme politik. Menurut Ronald H Chilcote (ahli perbandingan politik), bahwa dalam pluralisme politik, nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Inti dari teori ini merujuk pada konsep dasar demokrasi di mana rakyat dengan berbagai kelompok dan beragam kepentingannya diperkenankan untuk menguasai negara melalui berbagai jalur kekuasaan yang telah dibentuk dan dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan yang telah membentuk kekuatan negara pada prinsipnya paralel dengan jalur kekuasaan yang dimiliki rakyat.
Pluralisme politik adalah ruang demokrasi yang mampu membuka sumbatan-sumbatan agar kekuasaan dari berbagai kelompok rakyat dapat mengalir dengan bebas menuju penguasaan rakyat terhadap negara. Demokrasi telah menjamin bahwa pluralisme politik dalam sebuah negara tidak akan melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada golongan tertentu (seperti pada masa orde lama dan orde baru Indonesia). Tidak boleh ada niat apa lagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi kelompok rakyat yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan negara, baik kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan negara di daerah (pemda). Dalam dimensi pluralisme politik, seluruh rakyat melalui berbagai jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi  jalan untuk mengendalikan kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan. Melalui jalan tersebut rakyat dapat mengirim orang-orang yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif.
Hari ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol. Di samping rakyat parpol, rakyat non parpol  bisa masuk parlemen sebagai anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota melalui jalur independen. Kedua kelompok rakyat ini telah diberi hak yang sama oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan.
Perwakilan kekuasaan rakyat di negara kita disebar (di distribusi) ke dalam dua lembaga; legislatif dan eksekutif. Kekuatan kedua lembaga ini begitu besar karena mereka tergabung bersama dalam membuat berbagai keputusan negara/undang-undang untuk dijalankan oleh eksekutif; artinya dibahas bersama, diputuskan bersama, baru kemudian dijalankan oleh eksekutif. Sistem distribution of power  yang dianut di Indonesia telah membangun fungsi legislatif dan eksekutif sebagai Pemerintah bersama bukan sebagai musuh bebuyutan yang saling ingin menjatuhkan. Jika pun semangat ingin “berkonflik” ini mau diteruskan, maka rubah dulu UUD 45 yang mengatur sistem politik Indonesia dengan pola pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi  pola pemisahan kekuasaan dari ketiga lembaga tersebut.
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep separation of power (pemisahan kekuasaan) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, seperti di Eropa dan Amerika, ada ketegasan fungsi tugas yang jelas pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi legislatif sebagai pembuat kebijakan, dan eksekutif sebagai eksekutor (pelaksana kebijakan).  Sistem politik Indonesia dengan pola distribusi kekuasaan telah membangun hubungan rumit antara legislatif dan eksekutif. Mengutip pendapat guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin yang menyatakan bahwa sistem politik Indonesia adalah “banci”; maksudnya sistem politik negara kita tidak jelas, diumpamakan bukan sebagai  laki-laki dan juga bukan sebagai perempuan.
Akibat dari sistem “banci” ini maka kedua lembaga ini di Indonesia tidak pernah berdiri kokoh dalam menjalankan fungsinya. Hubungan kedua lembaga ini menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan konsep pluralisme politik di mana nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk hubungan “rumit” antara legislatif dan eksekutif yang dipertontonkan oleh para elit politik parlemen dan elit politik eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dalam membahas anggaran misalnya, yang terlihat dominan adalah hubungan negatif (kolaborasi kepentingan) dan hubungan konflik (saling memaksa mempertahankan kepentingan).

Pages: 1 2