Islam, Arab, dan Nusantara

Pidato Megawati Soekarnoputri pada peringatan ulang tahun ke-44 PDIP menuai kontroversi. Dengan mengutip pernyataan ayahnya, Mega mengatakan, "Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya nusantara yang kaya raya ini."
Meski dalam pernyataan itu Mega menyinggung agama-agama selain Islam, secara garis besar pidato Megawati cenderung mengarah kepada Islam dan kelompok-kelompok Islam. Ini bisa dilihat dari kritiknya terhadap "ideologi tertutup" atas dasar agama, yang dianggapnya tidak sesuai dengan bangsa Indonesia karena tidak toleran dan demokratis.
Pernyataan-pernyataan tentang "Islam  beda dengan Arab" atau "Indonesia beda dengan Arab" mulai hits sejak beberapa tahun terakhir ini. Bukan hanya dinyatakan tokoh-tokoh awam agama seperti Megawati, beberapa agamawan juga sering mengungkapkan hal serupa. Said Aqil Siradj dalam beberapa wawancara dengan media juga menyatakan hal itu. Dan pernyataan "Islam bukan Arab" itu sering kali diiringi dengan ungkapan negatif terhadap bangsa Arab sebagai kurang beradab karena suka berkonflik.
Dalam hal tertentu, mungkin benar Arab tidak lebih baik dari nusantara. Tetapi, pengungkapan pernyataan seperti itu tanpa disertai penjelasan yang cukup, bisa menjerumuskan masyarakat pada sikap kebencian terhadap bangsa tertentu (rasisme).

Identitas nusantara
Mempertentangkan budaya Arab versus nusantara sesungguhnya sebuah kenaifan yang  berbasis pada kebutaan sejarah. Dalam banyak hal, budaya Arab sesungguhnya memiliki peran penting dalam pembentukan identitas kenusantaraan selain pengaruh India. Hal ini wajar belaka mengingat sejak berabad-abad lalu wilayah nusantara merupakan area perdagangan internasional, dan mencapai puncaknya pada abad ke-16 dengan apa yang disebut oleh Anthony Reid (2015) sebagai "ledakan pasar yang terus-menerus".
Dalam kondisi seperti inilah Islam datang dan diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara. Kehadiran Islam tidak sekadar mengubah keyakinan masyarakat setempat, tetapi juga mengubah sistem sosial, bahasa, budaya, dan politik di nusantara.
Reid memberikan contoh, sebelum kedatangan Islam, para istri di Jawa dan Bali diharuskan membakar diri mereka dalam api pembakaran jenazah suaminya. Namun, tradisi seperti itu hilang dengan kedatangan Islam. Sebagai konsekuensi dari proses konversi ke Islam, masyarakat juga diharuskan berkhitan dan meninggalkan kebiasaan makan daging babi. Ini merupakan proses yang sulit, mengingat babi merupakan sumber daging utama dan unsur utama dalam ritual upacara-upacara sebelum Islam. Begitu kuatnya perubahan itu sehingga  dua hal ini  menjadi identitas utama keberislaman seseorang.
Melihat perubahan yang fundamental itu, tulis Reid, masyarakat nusantara yang masuk Islam bagaikan telah melakukan perubahan etnis. Karena itulah, Reid menolak tesis bahwa proses Islamisasi nusantara – terutama di Jawa –hanya menyentuh aspek kulit luar saja. Menurut dia, Islam tidak hanya menambah kalimat syahadat, doa, dan upacara-upacara lain sebagai pengganti upacara lama yang telah berlaku di masyarakat.
Lebih dari itu, Islam telah memberikan perubahan besar pada masyarakat, mengingat agama ini merupakan agama profetik yang menawarkan jalan eksklusif ke arah penyelamatan, dan menuntut pemeluknya untuk menampakkan ciri-ciri eksternal tertentu dalam kehidupannya sebagai umat.
Konversi ke Islam "seolah-olah pindah etnis" memang benar-benar terjadi karena banyak unsur budaya para pendakwah, yang diserap dan digunakan oleh masyarakat nusantara menggantikan budaya yang telah ada, seperti di bidang bahasa dan sastra. Unsur-unsur bahasa Arab diserap masyarakat seiring dengan Islamisasi yang terjadi.
Azyumardi Azra (2000) menulis, dalam Kamus Al-Hamidi karya Abdul Hamid Ahmad tercatat sekitar 2.000 kosakata Arab dalam Bahasa Melayu-Indonesia, dalam Guguskata Arab Melayu Muhammad Said mendaftar sekitar 1.725 kosakata, Kamus Istilah Islamiyah karya Muhammad Sanusi ibn Haji Mahmood mencatat sekitar 2.000 kosakata.
Sementara itu, James Howison mencatat hanya sekitar 150 kosakata, Shellabear mendaftar 385 kata, Swettenham hanya mencatat sekitar 219 kata,  Winstedt dan Linggi dalam Kitab Loghat Melayu mendaftar sekitar 1.001 kosakata Arab yang diadopsi dalam Bahasa Melayu-Indonesia. Sedangkan Denys Lombard (2008) menyebut sekitar 3.000 kosakata Arab yang diserap dalam perbendaharaan Melayu-Indonesia.
Istilah daulat, sultan, malik, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, aman, amar, wathan, majlis, musyawarah, umat, siasat, adil, zalim, syarikat, amanah, hukum, dan qanun merupakan contoh-contoh adopsi kosakata Arab dalam perbendaharaan Bahasa Melayu-Indonesia.  Pengaruh Arab dalam bidang bahasa ini bisa kita saksikan dalam penamaan lembaga-lembaga negara, seperti "Majelis Permusyawaratan Rakyat," dan "Dewan Perwakilan Rakyat."
Bahkan, beberapa konsep politik  Islam-Arab, seperti "adil", "beradab", "perwakilan", "musyawarah", "rakyat" menjadi bagian penting dalam dasar negara Indonesia modern, Pancasila. Seandainya tanpa konsep-konsep Islam yang berwarna Arab itu, sangat mungkin ayahnya Megawati dan founding fathers Indonesia lainnya kesulitan merumuskan Pancasila, yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu. 
Bukan hanya kosakata, melainkan juga aksara Arab turut diadopsi menggantikan aksara Sansekerta. Denys Lombard mencatat, menjelang tahun 1880, aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat (seperti bahasa Aceh, Minangkabau, atau Jawa). Penggunaan aksara Arab dalam bahasa Melayu atau Jawa dan lainnya itu dikenal sebagai Arab Pegon. Namun, penggunaan aksara Arab-Melayu itu pun mulai luntur digantikan aksara Latin di era kolonialisme Barat pada dasawarsa pertama abad ke-20.
Simbol-simbol Islam dan Arab ternyata juga menjadi identitas rakyat Indonesia, yang diperhadapkan dengan identitas penjajah kolonial yang Barat itu. Pangeran kerajaan Jawa semacam Diponegoro ternyata lebih suka menggunakan jubah dan gelar kearab-araban dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Belanda, daripada menggunakan pakaian dan  gelar-gelar Jawa. Hal serupa juga dilakukan pejuang-pejuang lain, seperti tiga haji dari Tanah Minang.
Maka itu, mencoba mempertentangkan identitas kenusantaraan dari identitas kearaban merupakan tindakan yang ceroboh, dan pada titik yang ekstrem dapat terjerumus pada krisis identitas bangsa nusantara. Diakui atau tidak, Islam dan Arab memiliki konstribusi besar dalam membentuk identitas kenusantaraan itu. 
Di titik inilah kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan "jangan jadi Arab" di satu sisi dan di saat bersamaan mengajak "kembali ke budaya sendiri (nusantara)" sesungguhnya merupakan pernyataan yang kontradiktif, dan justru mempertontonkan kebutaan sejarah si pembuat pernyataan itu sendiri. Allahu a'lam.

Ini merupakan Tulisan asli dari: Ahmad Khoirul Fata (Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo).


Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling3(1), 96-113.
Musradinur & Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on Education 2015. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling1(2), 99-112.
Tabrani. ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2011). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani. ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1 Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani. ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent
Tabrani. ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani. ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun2(2), 127-144.
Tabrani. ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani. ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani. ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris (ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling2(2), 130-146.
Tabrani. ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S & Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press

Islam Global, Islam Nusantara, dan Islam Saya

Pemberian embel-embel baru di belakang Islam, dari radikal, garis keras, fundamentalis, militan, kiri, kanan, damai, cinta, hingga global, transnasional, dan nusantara akan terus berlangsung. Bukan saja nama baru itu mencerminkan konteks sejarah, sosial, dan budaya di mana Islam sedang berada, berhadapan atau berjuang mempertahankan eksistensinya, pelabelan juga mempunyai dimensi politik yang mencerminkan adanya konflik.
Penamaan Islam Global dan Islam Nusantara pun boleh jadi menceritakan adanya konflik dan hegemonisasi. Yang satu antara Islam dan ‘penguasa dunia’ yang lain dengan negara. Dalam perdebatan the politics of naming yang dikenal dalam ilmu sosial, definisi ditentukan oleh si pembuat definisi, bukan apa yang didefinisikan.
Ketika kita memberi label pada seseorang, saat itu pula kita menghakiminya tanpa proses pengadilan; "To give someone or something a name is to exercise power," tulis Jonathan Herring dalam The Power of Naming. Nietzsche pun mengetahui itu di dalam On the Genealogy of Morality. Menurut Herring, political control sering kali dijalankan melalui kuasa pemberian label pada seseorang, apakah itu label teroris, disabled (cacat), ignorant (bodoh, kurang berilmu), atau kriminal.
Meskipun sepanjang sejarah Islam selalu bersifat global dan lintas bangsa, penamaan Islam Global dan Islam Transnasional menjadi ‘perlu ada’ di era globalisasi ketika kemajuan teknologi informasi dan transportasi telah mereduksi jarak dan membuat umat Islam makin terhubung satu dengan yang lain,dan Islam juga tampil makin asertif menghadapi hegemoni ‘penguasa dunia’.
Demikian juga dengan Islam Nusantara. Seiring dengan adat revival (kebangkitan adat kembali) dalam penelitian Davidson, Henley, dan Takano, Islam Nusantara dapat dijelaskan sebagai bagian dari fenomena pelokalan dan penguatan kembali nasionalisme melawan derasnya arus globalisasi. Tentu, bukan kebetulan jika fenomena kontradiktif itu terjadi justru di negara-negara bekas jajahan--terutama multietnis.
Di India, misalnya, penamaan kembali beberapa tempat dilakukan untuk menyenangkan masyarakat lokal dan membangkitkan kebanggaan pada budaya India; Bombay telah diubah menjadi Mumbai; Bangalore menjadi Bengaluru. West Bengal yang merupakan kampung halaman berbagai etnis yang tidak semuanya berbahasa--ibu Bengali telah diubah menjadi Paschim Banga sebagai terjemahan kata West Bengal dalam bahasa Bengali. SR Chowdhury berkomentar pada The Financial Times, 2011, penamaan Paschim Banga adalah pertanda berkuasanya etnis Bengali yang memarginalisasi etnis lain.
Dengan alasan yang kurang lebih sama, perdebatan di media sosial baru-baru ini cukup seru terhadap pembacaan Alquran dengan langgam Jawa. Yang berkeberatan tentu mereka yang bukan orang Jawa.
Mengingat hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang paling pribadi di antara hubungan apa pun juga, penulis mengajak umat Islam untuk memerdekakan diri dari berbagai kepentingan politik di balik pelabelan Islam dengan berbagai nama. Lalu, menciptakan sendiri definsi Islam yang paling sesuai dengan diri kita masing-masing. Kemudian, sebutlah itu dengan ‘Islam Saya’.
‘Islam Saya’ adalah Islam yang saya pahami dan yang saya jalankan tradisinya. ‘Islam Saya’ adalah Islam yang saya nikmati semua pengalaman spiritualnya. ‘Islam Saya’ adalah jalan yang saya cari kembali ketika saya tersesat dan resah.
‘Islam Saya’ adalah Islam yang memberikan saya identitas; yang menjadikan saya disiplin menjalankan shalat di tengah kesibukan apa pun; yang membuat saya kuat menahan lapar dan dahaga berpuasa; yang membangunkan saya di tengah malam untuk tahajud dan bermunajat; yang membuat saya rela berbagi harta untuk membayar zakat setelah saya mencarinya dengan susah payah; yang membuat saya menabung sedikit demi sedikit agar bisa pergi berhaji ke Tanah Suci; dan yang memberikan makna atas semua pengorbanan itu.
‘Islam Saya’ adalah lentera yang saya bawa ke mana-mana yang menjadi penghias ketika terang dan penerang ketika gelap. ‘Islam Saya’ adalah ‘bahasa’ yang bisa membuka kesadaran saya akan keberadaan-Nya dan ‘jalan mendaki’ yang sedang saya tapaki untuk menuju kepada-Nya. ‘Islam Saya’ adalah sebuah ruang kosmis di mana terdapat kait mengait antara saya dan orang tua, para guru, ulama, dan anak cucu saya kelak dalam sebuah kesatuan yang bermakna dan terhubung kepada-Nya.
Kalau sekiranya ‘Islam Saya’ berbeda dengan Islam tetangga saya, saya tidak akan ambil pusing karena saya sudah punya yang saya perlukan. Kalau ‘Islam Saya’ sama dengan Islam teman saya, saya akan senang berbagi pengalaman dan pengetahuan keislaman dengannya.
Kalau di tengah jalan ‘Islam Saya’ tidak bisa menjawab banyak pertanyaan dan tantangan hidup yang tiba-tiba mengadang, saya akan mencari Islam lain yang bisa menjawab kebutuhan itu. Sambil mensyukuri kekayaan khasanah Islam, saya akan belajar dari  beragam aliran yang dibawa oleh berbagai kelompok, apakah itu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Hidayatullah, para ahlulbait, tarekat para sufi, dan lainnya dengan semangat seorang santri yang sejati.
Yaitu, semangat mencari ilmu dan kebenaran dengan terlebih dulu membersihan hati dari niat sekadar mencari kemasyhuran dan menginginkan kedudukan, sebagaimana pesan Imam al-Ghazali di mukadimah buku Bidayatul Hidayah, "Ketahuilah wahai manusia yang ingin mendapat curahan ilmu. Jika engkau menuntut ilmu guna bersaing, berbangga, mengalahkan teman sejawat, meraih simpati orang, dan mengharap dunia maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia. Dengan demikian, engkau mengalami kegagalan, perdaganganmu merugi. Tapi, jika niat dan maksudmu dalam menuntut ilmu untuk mendapat hidayah, bukan sekadar mengetahui riwayat, bergembiralah. Sesungguhnya, para malaikat membentangkan sayapnya untukmu saat engkau berjalan dan ikan-ikan di laut memintakan ampunan bagimu ketika engkau berusaha." (Al-Ghazali).
Dan selanjutnya, saya akan membiarkan Allah sendirilah yang akan menunjukkan pada saya apa-apa yang saya cari itu.

Ini merupakan Tulisan asli dari: Wardah Alkatiri (PhD Candidate in Sociology di University of Canterbury Selandia Baru


Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling3(1), 96-113.
Musradinur & Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on Education 2015. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling1(2), 99-112.
Tabrani. ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2011). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani. ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1 Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani. ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent
Tabrani. ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani. ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun2(2), 127-144.
Tabrani. ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani. ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani. ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris (ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling2(2), 130-146.
Tabrani. ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S & Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press

Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu.  Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respons yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung “menolak” nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world system.
            Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner: “One of the best known and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis: in industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes. There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized religion eventually cuts its own throat”.
Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak dasawarsa 1980-an. Sejak periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai ‘sekular’ – bergerak ke ‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu.

Disarikan dari Tulisan: Dr. H. Endang Komara, M.Si


Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling3(1), 96-113.
Musradinur & Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on Education 2015. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling1(2), 99-112.
Tabrani. ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani. ZA. (2011). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani. ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1 Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani. ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani. ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent
Tabrani. ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani. ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun2(2), 127-144.
Tabrani. ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani. ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani. ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani. ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris (ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling2(2), 130-146.
Tabrani. ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S & Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press