Aurat
dan Fitnah sebagai Dinding Pembatas
Aurat selalu menjadi
benteng penghalang bagi perempuan untuk mengekspresikan seksualitasnya,
ditambah lagi wanita adalah “fitnah” bagi laki-laki. Hadist yang mengatakan
perempuan adalah fitnah adalah”Aku
tidak meninggalkan, setelah aku mati, suatu fitnah yang lebih mencelakakan
laki-laki kecuali perempuan” (H.R. Bukhari). Pemahaman
umum atas hadits ini sangat bias gender. Dengan dasar pemahaman “fitnah” yang
sempit dan bias, wanita selalu dijadikan sumber malapetaka.
Perempuan
diposisikan sebagai sesuatu yang membahayakan laki-laki. Pemerkosaan, tindakan
kekerasan yang diterima oleh perempuan, menjadi salah perempuan atau korban
yang notabene adalah perempuan. Alasan yang digunakan untuk menyalahkan
perempuan adalah karena sebagai sumber fitnah. Perempuan yang tidak berhijab
dan mengenakan pakaian yang mengumbar nafsu syahwat laki-laki, dianggap sebagai
faktor penyebab pelecehan seksual (Muhammad, 2012).
Pemaknaan
terminologi fitnah ini yang perlu dikaji lebih dalam. Secara genuin fitnah memiliki makna
ujian (Muhammad, 2012). Dalam hal ini, artinya bukan wanita saja yang bisa
menjadi ujian bagi laki-laki. Banyak hal yang dapat menjadi ujian dalam
kehidupan. Hal tersebut berlaku bagi laki-laki maupun bagi perempuan.Sebab itu,
kita juga bisa melihat kebalikan dari sudut pandang itu, bahwa laki-laki
menjadi ujian bagi perempuan.Kalau hanya melihat perempuan sebagai fitnah, maka
sudah jelas pemaknaan fitnah tersebut sangat bias gender. Perempuan hanya
dijadikan objek penderita.Ditambah lagi, pemaknaan fitnah itu merujuk pada
perilaku jahat seperti kebohongan, hasutan, penggoda dan hal jelek lainnya.
Berkat
situasi di atas, hingga saat ini kita bisa melihat bahwa perempuan memiliki
keterbatasan di ruang publik. Sistem patriarki yang mengakar memberikan batasan
bagi ruang gerak perempuan. Sebagian besar tafsiran agama Barat menempatkan
perempuan pada titik yang diapresiasi namun dibungkam dalam ruang yang sempit,
hanya pada sektor domestik.
Padahal
bila kita mencoba mencari beberapa kisah, bagaimana kedudukan perempuan pada
zaman nabi, perempuan memiliki tempat di ruang publik. Pada zaman nabi, masih
ada yang perempuan ikut dalam berbagai perdebatan beserta laki-laki untuk
mengkaji berbagai permasalahan sosial di mesjid ataupun di ruang publik.
Perempuan pada saat itu diberi hak oleh nabi untuk menjalankan ibadah
personalnya di mesjid bersama laki-laki. Nabi mengatakan “Jangan halangi kaum
perempuan pergi ke masjid” (Muhammad, 2012).
Menurut
Imam Bukhari, ketika Rasul tidak ada, Siti aisyah dan Ummu Salim
menggulung pakaian hingga betis mereka untuk memberi minum para tentara yang
sedang kehausan. Selain itu pada saat itu para perempuan ikut berpolitik dan
berdiskusi dengan para laki-laki untuk membicarakan strategi perang,
tanpa hijab. Tak
sedikit dari para perempuan yang menggunakan pakaian yang disiapkan untuk
perang; wajah,tangan dan kaki terbuka (Muhammad, 2012).
Bahkan,
jika kita melihat lagi persoalan “suara” perempuan yang dibungkam di jaman
sekarang, rupanya itu tidak sejalan juga dengan apa yang terjadi di zaman nabi.
Kalau kita tengok cerita Khansa Bint Amr, seorang penyair puisi terkemuka di
Arab, dia pernah membaca puisi di depan Nabi dengan penuh ekspresif. Nabi
mengagumi sekaligus memuji beliau (Muhammad, 2012).
Dinamika
Perspektif Seksualitas seiring perkembangan Islam di Indonesia
Mari
kita bersama-sama menarik ke belakang tentang proses masuknya Islam ke
nusantara sejak abad ke-13 dan perspektif yang digunakan dalam memandang
perempuan. Gusdur membagi proses itu dalam beberapa babak sejarah. Babak
pertama Islam Sufisme, babak kedua Islam Fiqh Sufistik dan babak ketiga Islam
Fiqh. Babak Islam sufisme adalah pembabakan Islam yang mengutamakan essensialik
atau mengedepankan apresiasi keberagaman budaya (Multikultural) (Muhammad,
2012).
Hal
ini dicontohkan dalam proses cross
culture dengan cara kawin mawin antara pedagang dari Gujarat
dengan warga nusantara. Atau oleh walisongo yang menggunakan pendekatan
kultural. Pada masa wali songo perempuan ditempatkan pada posisi sesuai kondisi
sosial budaya kultur masa itu. Pada saat itu memang perempuan berada di ruang
domestik dan memang sudah sejak lama perempuan ada di ruang domestik.
Contoh
perempuan yang masih ada di ruang domestik adalah ketika kegiatan syukuran
dilaksanakan. Para laki-lakilah yang melaksanakan kegiatan tersebut, mereka
berdoa kemudian dijamu, membakar tembakau dan ngobrol. Sedangkan para perempuan
hanya dapat memasak, menyiapkan jamuan dan mengintip dari sela-sela bilik. (Geertz, 1981).
Di
sisi lain perempuan pada masa itu diapresiasi dalam ritual. Dapat dilihat pada
upacara adat seperti Seren
Taun di Jawa Barat, Seblang di
Banyuwangi, Bapalas Padang di
Kalimantan Selatan dan Ngaturan
Sari di Bali. Perempuan menjadi poros pada upacara-upacara
tersebut. Perempuan mewakili dewi Sri, Nyi pohaci atau dewi bumi sebagai sumber
kesuburan dan kemakmuran. Meskipun pada nyatanya legitimasi dan otoritas sang
dewi sering dipinjam oleh raja setempat untuk menjalankan proyek-proyek
kesuburan dan kesejahtraan rakyatnya (Majalah Srinth, 2004 ).
Kemudian
babak Islam Fiqh dimulai pada abad ke 20 ketika para pelajar Islam dari Timur
Tengah, kembali ke tanah air. Babak Ini ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam yaitu Sarekat Islam (SI), Nahdatul Ulama (NU),
Muhamadiyah dan organisasi Islam lainnya. Babak ini lebih menekankan pada aspek
legal formal dari institusi Islam. Meskipun pada kenyataannya Islam Fiqh ini
melakukan dialektika dengan budaya Indonesia. Pada babak ini terlihat tetap ada
corak fiqh Arab yang begitu kental di dalamnya.
Islam
Fiqh ini dapat dikatakan sebagai Islam yang moderat. Islam Fiqh ini memiliki
pandangan yang berada di tengah-tengah mahzab yang paling ekstrim di dalam
Islam. Begitu juga halnya dengan isu seksualitas yang dipandang tidak terlalu
ketat dan tidak terlalu longgar. Penganut kuat aliran Islam Fiqh adalah NU.
Dapat dilihat dalam relasi seksualitas perempuan organisasi ini, perempuan
diberikan ruang yang cukup luas untuk aktualisasi diri, meskipun tetap ada
batas-batas yang mengikat. Misalnya mereka (nyai-nyai) diperbolehkan mengenakan
kebaya dengan kerudung yang rambutnya terlihat. Sejak zaman dahulu para ulama
dari golongan NU tidak pernah mengintimidasi perempuan yang berada di ruang publik
atau melebeli mereka dengan cap tercela atau sesat (Muhammad, 2012).
Babak
Islam Sufistik Fiqh tidak akan terlalu dibahas karena merupakan masa transisi
antara Islam Sufistik dan Islam Fiqh. Kemudian belakangan munculah Islam
Fundamentalis. Aliran ini memberikan pandangan lain tentang seksualitas
perempuan. Stigma mengenai perempuan kemudian muncul. Isu yang pertama kali
muncu ladalah jilbabisasi bagi
kalangan perempuan muslim. Kemudian isu– isu lain tentang perempuan mulai
muncul. Islam fundamentalis ini merupakan Islam yang dipengaruhi oleh teori
keagamaan Islam Arab Saudi yang dikenal ketat, skriptual dan konservatif dalam
urusan membatasi seksualitas perempuan. Islam Fundamentalis atau Islam garis
keras ini berusaha mengembalikan Islam seperti abad pertengahan.
Problem
Seksualitas Perempuan dalam Ruang Publik
Pengaruh
Islam Fundamentalis ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun bersifat
transnasional. Indonesia yang sedang terpuruk mendapat imbas yang sangat kuat
dari fenomena ini. Kelompok ini gencar mengampanyekan perempuan harus sangat
tertutup dan mereka tidak memiliki hak berpolitik, meskipun punya hak
berpolitik sangat dibatasi, karena mereka percaya dibalik laki-laki yang hebat
terdapat perempuan yang solehah.
Dapat
dihitung dengan jari perempuan yang menjadi pemimpin daerah. Selalu ada cibiran
kalau “fitrah” perempuan hanya untuk berada di dapur. Jangankan untuk
berpolitik, bagi sebagian kelompok suara wanita adalah sebuah “fitnah”.Bukankah
hal yang aneh bila kemudian suara perempuan harus ditutup-tutupi karena
dianggap sebuah “aurat”. Padahal seperti cerita di atas Nabi pernah
mengapresiasi Khansa Bint Amr.
Setelah
sekian lama Islam moderat mendorong posisi perempuan untuk memiliki ruang di
ranah publik, kini posisi seksualitas kembali terpinggirkan. Penyebab
pemerkosaan, perselingkuhan hingga kekerasan pada perempuan lagi-lagi dikaitkan
dengan kodrat perempuan yang harus menjaga aurat. Dari berbagai kasus pelecehan
dan pemerkosaan, perempuanlah yang selalu disalahkan.
Banyak
kalangan yang “meng-aminkan”isu yang mereka usung terutama isu seksualitas
perempuan. Hal ini berpengaruh pada tatanan politik dan kebijakan pemerintah,
seperti lahirnya undang-undang pornografi dan pornoaksi yang sangat bias
beberapa waktu lalu. Selain itu banyak aturan-aturan pemerintah, baik dalam RUU
atau sudah disahkan memiliki bias agama dan moralitas.
Kasus
yang terakhir adalah pembunuhan dengan gagang pacul yang dilakukan terhadap
buruh swasta oleh mantan kekasih dan temannya. Setelah kasus tersebut,
beredar meme di media
sosial dengan tulisan “Masih tidak menjaga aurat? Pacul masih banyak!” Meme
tersebut mewakili kesadaran kolektif sebagian orang di Indonesia mengenai
posisi seksualitas perempuan, bahwa perempuanlah yang menjadi penyebab
kemaksiatan.Demikianlah wacana seksualitas yang terjadi di negeri Indonesia.
Kondisi
ini bukan hanya membungkam perempuan di ruang sempit, namun menghilangkan
potensi-potensi bangsa, kemanusiaan dan kebudayaan. Problem serius akan
dihadapi oleh bangsa ini bila upaya formalisasi agama yang berkaitan dengan isu
seksualitas perempuan melalui regulasi negara berhasil diwujudkan (Muhammad, 2012).
Sila
kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
sesungguhnya menjamin bahwa seluruh rakyat indonesia berhak memiliki posisi
yang setara dan tidak memandang mana laki-laki dan perempuan. Harusnya landasan
ini juga bisa menjadi dasar untuk memajukan seksualitas perempuan pada posisi
semestinya. Perjuangan seksualitas perempuan di negara ini menghadapi babak yang
baru. Babak dan ketegangan baru lebih tepatnya. Bila selama ini berhadapan
dengan budaya patriarki yang dijustifikasi oleh adat istiadat, sekarang
berhadapandenganpatriarki yang dijustifikasi oleh Agama.
Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme
dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 3(1), 96-113.
Musradinur
& Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam
Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan
Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on
Education 2015. Banda
Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati.
(2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta:
Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on
the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical
Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 1(2),
99-112.
Tabrani.
ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami
Press
Tabrani. ZA. (2011).
Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal
of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar
Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik
Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani.
ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di
Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1
Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future
Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy,
18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak
Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International
Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani.
ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam
Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2),
65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi
Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi
Islam. Banda Aceh: SCAD
Independent
Tabrani.
ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama
dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani.
ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner
(Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2),
127-144.
Tabrani.
ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir
Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1),
19-34
Tabrani.
ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi
Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani.
ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru
Metodologi Studi Islam). Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan
Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris
(ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam
Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis
Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130-146.
Tabrani.
ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat
Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International
Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S &
Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory. Banda
Aceh: FTK Ar-Raniry Press