Waktu Sebagai Dimensi Kehidupan Sosial

Oleh: Fathurrossi

Apakah itu Waktu ?
WAKTU adalah kesempatan yang terbatas sepanjang kehidupan kita yang tidak tentu kapan berakhirnya yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Waktu adalah pengertian tentang kesempatan yang tidak pernah akan datang kembali dan setiap kesempatan yang kita pergunakan akan mempengaruhi kesempatan yang berikutnya. Orang yang mengenakan jam tangan untuk mengukur waktu (dikatakan demikian karena ada orang yang mengenakan jam tangan hanya untuk menjadi hiasan yang mahal) biasanya memiliki pengertian yang lebih dalam dan lebih peka tentang waktu karena dia merasa perlu tahu akan posisi dia di dalam waktu.
Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) bukan sekedar pengetahuan dan alat yang kita hasilkan dan gunakan. Ia dapat menentukan apa yang dipikirkan dan dilakukan manusia. Inilah paradox subyektifitas manusia menghadapi persoalan baru. Apa yang dapat kita lakukan dengan waktu hidup kita yang semakin lama semakin cepat dan intensif dewasa ini. Apa artinya tanggung jawab kita terhadap sesama, masyarakat, dan lingkungan, jika waktu yang kita miliki adalah sebuah waktu teknologis, waktu yang ditentukan oleh logika iptek yang tidak kita sadari.
Dalam perpektif inilah, seluruh bangunan etika tidak bisa lepas dari pertanyaan siapa kita, tidak terkecuali ketika kita hendak membangun sebuah etika iptek. Iptek tidak bisa indiferen terhadap masalah etika lagi. Bahkan semakin cepat ia berkembang semakin penting ia berpaling kepada etika. Ilmu pengetahuan muncul sejak adanya manusia. Hal itu dikarenakan manusia sebagai subyek kehidupan yang diciptakan Allah dengan kesempurnaan penciptaannya, yakni dikaruniai akal dan budi serta nurani memiliki insting dasar untuk selalu ingin tahu atas apa yang dilihat dan dirasakannya. Proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah seiring dengan laju pertumbuhan umat manusia dan peradaban yang mengiringinya, karena gerak tumbuh peradaban manusia pada waktu dan dalam komunitas tertentu dipengaruhi oleh laju intelektualitas dan tumbuh kembang ilmu pengetahuan yang dihasilkan.

Waktu dan Kekekalan
Manusia mengenali waktu serta memiliki suatu ‘perasaan’ (jika tidak dapat disebut sebagai kesadaran total) dalam dirinya tentang paradoksitas waktu yang memiliki awal dan akhir, namun juga bersifat seolah-olah kekal karena terasa tanpa akhir. Terlebih daripada itu, ‘perasaan’ manusia tentang waktu dalam paradoks yang lebih besar memiliki cakupan yang melampaui waktu, yang bersifat kekal. Hal tersebut tampak sangat jelas dalam banyaknya pandangan dan pemikiran tentang adanya kehidupan setelah kematian. Hidup manusia yang sangat terbatas dan pendek memunculkan suatu pengertian tentang waktu dan pencarian makna diri seumur hidupnya. Beberapa orang menemukannya, sementara yang lain kebingungan, dan sisanya tidak perduli atau berusaha untuk tidak perduli dalam pragmatisme penipuan diri. Namun, tidak perduli siapapun dia, selama kita hidup, kita tidak akan pernah lepas dari pemikiran tentang waktu.

Waktu dan Nilai
Dalam kesadaran tentang waktu, sadar ataupun tidak, mau ataupun tidak, kita tidak dapat lepas dari unsur nilai atau value. Salah satu–jika bukan satu-satunya– alasan kenapa manusia mau menjadi kekal adalah karena dia memiliki pemikiran tentang nilai yang berusaha dicapainya supaya dia boleh terus berada dalam sejarah. Supaya dia boleh mendapatkan nama bagi dirinya di dalam dunia, menjadi seseorang yang tidak dilupakan, seseorang yang memiliki hidup yang diakui nilainya. Karena manusia menyadari, sebentar saja dia lahir, sebentar pula dia menghidupi waktunya, dan besok dia akan mati, dan semuanya menjadi sia-sia.

Waktu dan Kehidupan Kekal
Kehidupan kekal hanya berada di dalam dua dunia (baca: realm): dunia budaya dan dunia religi. Dengan kalimat tersebut, akan kita bedakan dan tekankan bahwa religi yang dimaksud disini tidak diklasifikasikan sebagai hasil dari budaya, apapun juga religinya. Hal ini juga demi mempermudah pembahasan. Yang pertama bercerita tentang pengharapan manusia untuk bisa kekal di dalam waktu. Yang terakhir bercerita tentang pengharapan manusia untuk bisa kekal di luar waktu. Dunia budaya bercerita tentang manusia yang hidup, sementara dunia religi bercerita tentang manusia yang mati tetapi tidak mati melainkan hidup di dalam jiwa atau roh di dalam alam atau dimensi yang lain.
Pengertian akan masing-masing pandangan ini menghasilkan idealisme yang sama sekali berbeda dalam dunia praktika kehidupan seseorang. Perlu disadari dan ditekankan sebelumnya yaitu tidak seorang pun pernah tidak mati ataupun pernah hidup dalam jiwa atau roh. Sehingga tepatlah kata yang dipilih: Idealisme, suatu bayangan ideal yang tidak diketahui kebenarannya secara empiris.Budaya membayangkan kehidupan kekal sebagai kehidupan tanpa akhir di dunia ini. Hal ini tidak menarik untuk dibahas karena kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi dan apa yang akan kita lakukan jika manusia hidup abadi dalam bumi ini.
Religi lebih menarik untuk dibicarakan, karena tidak seorangpun bisa membayangkan bagaimana kehidupan setelah kematian. Tapi tampaknya dunia religi sepakat bahwa ada satu dunia di sana yang disebut neraka dan surga yang tentunya memiliki banyak sebutan dan istilah yang berbeda-beda, tapi memiliki makna yang sama. Yang satu adalah tempat dimana orang yang jahat berada dan yang lain adalah tempat dimana orang yang baik berada. Konsep dan kisah serta penggambaran kedua tempat tersebut pun berbeda-beda tergantung dari masing-masing religi yang bermacam-macam.Konsep surga dan neraka inilah yang menentukan bagaimana seseorang menjalani hidupnya serta menentukan pilihan-pilihan nilai yang akan dipegangnya selama masa hidupnya.

*) Dosen FTIK IAIN Pontianak

Sumber: http://www.pontianakpost.co.id/waktu-sebagai-dimensi-kehidupan-sosial